KOMPAS - Ruang publik online tengah jadi arena "pertarungan" wacana. Hal ini terlihat dari adanya dua petisi terkait Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso. Sampai sejauh mana gerakan sosial di linimasa ini bisa memengaruhi kebijakan publik?
Dua petisi terkait Budi Waseso tersebut dapat ditemukan di Change.org. Petisi pertama bertema "Copot Kabareskrim Budi Waseso". Petisi ini diinisiasi oleh Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar dan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia pada 15 Juli 2015.
Petisi kedua adalah "Dukung Kabareskrim Budi Waseso Menegakkan Hukum Tanpa Tebang Pilih". Petisi yang dibuat pada 22 Juli ini diinisiasi oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Adrianus Meliana.
Kemunculan dua petisi itu terkait langkah Polri memproses hukum sejumlah orang, seperti dua komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri dan Suparman Marzuki. Bareskrim menetapkan mereka sebagai tersangka setelah ada pengaduan dari Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi.
Dalam laman petisi yang diinisiasi Dahnil Anzar dan Ray Rangkuti, antara lain ada komentar Jeffry Leksmana Widya. Dalam komentarnya di laman petisi, dia menyatakan menandatangani petisi itu karena mencintai Polri. Sementara itu, Kukuh Adgaditya berkomentar "penegakan hukum harus sejalan dengan rasa keadilan. tidak semata-mata mencocok-cocokkan pasal KUHP demi kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.".
Sementara itu, dalam laman petisi yang diinisasi Neta S Pane dan Adrianus Meliana, antara lain terdapat komentar Gede Pasek Suardika. Dia menyebut Buwas (Budi Waseso) berani, berkarakter, dan memperlakukan semua orang sama di depan hukum. Dicky Sukotjo juga berkomentar serupa, mendukung Budi Waseso menegakkan hukum tanpa tebang pilih.
Ruang publik baru
Kehadiran dua petisi itu, juga petisi lainnya, makin menunjukkan bahwa media online merupakan ruang publik baru. Ia berfungsi sama dengan ruang nyata tempat masyarakat bisa berpendapat, saling beradu argumentasi, lalu bisa pula menjadi wadah mengorganisasi massa.
Peter Dahlgren dalam Media and Political Engagement menyebut linimasa sebagai "ruang komunikasi horizontal" yang pada akhirnya bisa menghasilkan aksi kolektif berupa gerakanonline. Dua petisi yang saling bertentangan soal Komjen Budi Waseso itu merupakan bentuk nyata dari aksi kolektif online.
Namun, seberapa besar dampak petisi itu? Sebagai sebuah ruang publik, keduanya bisa menjadi sarana pembelajaran politik, yakni bagaimana aspirasi disalurkan melalui petisi online.
Namun, keberhasilan petisi online tidak sekadar ditentukan oleh seberapa banyak penandatangannya, tetapi bagaimana aktivisme online ini bisa masuk ke ruang publik offline. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi "klik" yang banyak tanpa dampak nyata. Atau kasarnya, gerakan itu disebut Morozov (2009) sebagai slacktivism alias gerakan di mana tiap-tiap orang berteriak kencang di media sosial, tetapi nihil di gerakan offline.
Nah, pada kasus dua petisi terkait Budi Waseso, mana yang berdampak pada pengambilan kebijakan publik? Peneliti gerakan sosial di media online, Lance Bennett dan Alexandra Segerberg, dalam The Logic of Connective Action bertutur, ada beberapa syarat gerakan sosial online bisa "berdampak". Syarat itu adalah pertama, pesan dari gerakan itu mudah ditangkap publik serta mereka juga merasakan dirinya terdampak oleh isi pesan itu.
Kedua, gerakan online itu ditangkap media massa arus utama sehingga meningkatkan kepercayaan publik. Ini karena bagaimanapun, secara psikologis, media arus utama lebih dipercaya oleh publik sebagai pembawa informasi yang akurat, ketimbang media online yang "banjir" informasi.
Terakhir, gerakan online ini juga diikuti dengan gerakan offline. Dengan kata lain, ada "kopi darat" sebagai tindak lanjut gerakan di linimasa.
Kini tinggal menimbang, dari dua petisi yang kini muncul terkait Budi Waseso, petisi mana yang lebih dirasa oleh masyarakat merepresentasikan mereka? Petisi mana yang lebih menarik massa untuk mau turun ke jalan jika diperlukan.
Pakar komunikasi politik Effendi Gazali sependapat dengan sebagian pandangan Bennett dan Segerberg. Namun untuk kasus Indonesia, katanya, ada faktor pembeda. Di Indonesia sebagian aktivis sudah masuk dalam pemerintahan. Akibatnya, tidak mudah untuk menghasilkan gerakan sosial online yang bisa "bergemuruh". Ini karena para aktivis itu seolah menjadi "peredam".
"Supaya berdampak, petisi ini harus bisa memaksa aktivis yang ada di Istana menyampaikan bahwa suara di luar sudah terlalu keras sehingga perlu diambil tindakan tertentu," tutur Effendi Gazali.
Nah, menurut Anda, adakah satu di antara dua petisi itu bakal bisa "bergemuruh"? Atau petisi itu hanya sekadar berbunyi "klik. klik. klik"? (Antony Lee)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.