Waktu dan sumber daya untuk mengelola politik personal itu jelas akan mengalihkan konsentrasi anggota Dewan, dan parpol-parpol di DPR, dari penyelenggaraan peran perwakilan rakyat yang secara konstitutif harus mereka emban kepada perhatian terhadap program pembangunan dapilnya yang cenderung pragmatis. Peran perwakilan rakyat punya makna dan cakupan luas dalam sistem presidensial: mencegah kesewenangan kekuasaan pemerintah oleh Presiden serta memastikan penyelenggaraan kekuasaan itu ditujukan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan/aspirasi rakyat untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pengejawantahan peran ini tercakup dalam tiga fungsi pokok DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jika ketiga fungsi ini dijalankan secara berintegritas, anggota DPR pada substansinya memperjuangkan aspirasi rakyat.
Fakta empirik berkata lain. Kinerja DPR dalam tiga fungsi ini jeblok. Tak terlihat indikasi-indikasi integritas kinerja DPR. Bahkan, DPR baru hasil Pemilu 2014 yang secara genetik berkarakter produktif, militan, dan kompeten tak memantulkan kecenderungan peningkatan kualitas kinerja dalam tiga fungsi utama itu. Penilaian FORMAPPI (Desember 2014-Mei 2015) atas kinerja DPR pada tiga masa persidangan tahun sidang pertama 2014-2015 menunjukkan capaian: legislasi di bawah 30 persen; anggaran memihak pemenuhan kepentingan sendiri (dana pembangunan rumah aspirasi Rp 1 triliun, dana aspirasi Rp 11,5 triliun); pengawasan relatif nihil jika diacukan pada tiadanya tindak lanjut temuan-temuan BPK oleh DPR; dan, serap aspirasi tidak terdata kalaupun tidak ada sama sekali. Alih-alih melakukan upaya peningkatan kinerja, DPR malahan mencari-cari fungsi baru yang bukan bagian utama mandat perwakilan rakyat, yaitu fungsi diplomatik.
DPR kurang mampu dan berusaha sepenuhnya menjalankan peran representasinya. Hasil kerjanya memperjuangkan aspirasi rakyat tak kelihatan, kalaupun bukan tak ada. Meski dapat mencegah kesewenang-wenangan eksekutif dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, DPR mengalami kesulitan menjelaskan keberhasilannya ini kepada konstituen. Sebab, DPR kurang meluangkan waktu dan forum yang intens untuk berkomunikasi dengan konstituen. Dengan alasan keterbatasan dukungan fasilitas, bertemu dengan konstituen yang beragam dan menjangkau dapil yang luas adalah pekerjaan yang melelahkan; apalagi tak ada insentif langsung didapat dari forum itu, makin memperkuat keengganan anggota berlama-lama tinggal di dapil. Dari alokasi waktu 30 hari kerja reses untuk temu konstituen di dapil, anggota DPR biasanya hanya mengambil 10 hari. Jika ini sebanding lurus dengan cakupan komunikasi dan serapan aspirasi konstituen, maka capaiannya hanya 30 persen. Anggota DPR tampak kurang berkehendak mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada, dan kurang berniat menyerap secara mendalam aspirasi dari, semua ragam kelompok konstituen di dapil.
Dalam kondisi itu, UP2DP diyakini anggota DPR akan jadi bukti di hadapan konstituen bahwa dia memenuhi aspirasi masyarakat setempat. Namun, tampaknya bukan kepedulian anggota DPR jika UP2DP itu hanya memenuhi 30 persen aspirasi, atau bahkan kurang. Yang penting ada pujian dan dukungan semakin kuat masyarakat setempat. Jika ini kasusnya, UP2DP benar-benar reduksi kalau bukan pengingkaran makna peran representasi rakyat jadi pemenuhan kepentingan diri anggota DPR. Ini bukti anggota DPR menyangkal sendiri sumpahnya memperjuangkan aspirasi rakyat. Ini jelas pertaruhan aspirasi rakyat yang sangat mahal.
Tommi A Legowo
Pendiri dan Peneliti Senior FORMAPPI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Mempertaruhkan Aspirasi Rakyat".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.