Politik personal itu akan membebani anggota DPR dengan persaingan di lapangan yang mudah menjadi kotor di antara sesama anggota satu parpol dan/atau beda parpol. Seperti diketahui, dapil dalam format perwakilan berimbang (PR) mempunyai wakil plural. Di Indonesia untuk tingkat nasional, satu dapil diwakili 3-10 anggota DPR. Meski tak bersifat zero-sum, dapat dipastikan setiap anggota DPR tak ingin programnya kalah berhasil dari program sekutu dan seterunya di dapil. Ini rangsangan menggunakan cara-cara kotor memenangkan persaingan; apalagi hingga kini tak terlihat tanda-tanda koordinasi/kerja sama antar-anggota DPR dalam satu dapil dan untuk UP2DP ini.
Politik personal membawa juga potensi kuat konflik kepentingan antara anggota DPR dan parpol induknya. Jika berhasil, politik personal membesarkan nama anggota DPR lebih daripada nama parpol induk. Dan, ini adalah gerbong pendukung yang menambah nilai tawar anggota DPR untuk ditukar dengan jabatan politik di parpolnya atau bahkan untuk kepentingan menyeberang ke parpol lain. Karena itu, parpol induk belum tentu memberikan dukungan penuh untuk keberhasilan UP2DP anggota DPR. Bahkan, mungkin sekali, parpol akan jadi penghalang bagi munculnya nama-nama besar kadernya sebagai hasil dari program ini.
Harus dicatat, prinsip perwakilan berimbang mendudukkan parpol sebagai perwakilan rakyat atas dasar status kepesertaan pemilu. Kursi DPR adalah milik parpol, dan anggota DPR adalah utusannya. Parpol dapat mengganti utusan itu dengan kader lain setiap saat dengan alasan apa pun juga. Mencegah kemurkaan parpol, anggota DPR akan dituntut memberikan "pelayanan terbaik" kepada induk semangnya itu. Sumber daya pun bisa terkuras memenuhi tuntutan ini.
Kemungkinan hasil dari persaingan kotor dan hambatan itu adalah tak semua program UP2DP akan sukses. Perkiraan optimistis, 40 persen akan mewujud dalam output program; sisanya 60 persen bakal menguap tanpa bekas. Pengalaman Filipina dapat dijadikan rujukan. Dalam laporan The Philippine Center for Investigative Journalism (Gamala, Januari 2014) tentang realisasi program aspirasi dalam skema Priority Development Assistance Fund (PDAF) dikutip pernyataan Sen Lacson bahwa "less than 50 percent actually went to the programs of work. And more than 50 percent went to the many deep pockets of corruption." Lebih jauh, persentase dana lebih kecil yang terselamatkan kembali ke kas negara hanya dari pajak proyek pembangunan PDAF ini. Lebih buruk lagi, observasi Solita Collas-Monsod (Juli 2013) menyatakan skema program semacam ini "... may not even help the local constituents; it stops in the legislators' pockets and those of their private-sector coconspirators, with the active help or benign neglect of the government agencies and the Commission on Audit."