Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun Penuh Marabahaya

Kompas.com - 21/04/2015, 15:04 WIB


Oleh: Suwidi Tono

JAKARTA, KOMPAS - Hari-hari ini, enam bulan sudah Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden. Belum tampak lompatan visi dan tindakan menggetarkan. Kekisruhan dan kedaruratan situasi hukum-politik-ekonomi mengemuka di tengah kinerja sebagian kabinet dan pembantunya yang gagap dan defensif.

Masih segar dalam ingatan, Jokowi diantar ke gerbang Istana Merdeka, 20 Oktober 2014, dengan kereta kencana. Harapan rakyat membubung tinggi yang mewarnai seluruh prosesi massal pelantikannya, kini diterali kesabaran terpendam. Dengan harap-harap cemas, kita belum mendapat sinyal melegakan sebagai tonggak menatap hari depan.

Jokowi beberapa kali mengirim pesan yang tidak senada dengan harapan publik. Pada kasus konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Polri, ekses ucapan dan tindakan yang diambil cenderung membiarkan pelemahan KPK secara sistematis. Tingkat kegawatan yang ditimbulkan tidak pernah terjadi pada era sebelumnya. Pada polemik kasus uang muka mobil pejabat, efek viral: "I don't read what i sign" mengundang keraguan tentang determinasi kepemimpinannya.

Genealogi Jokowi

Dari analisis "genealogi", gaya kepemimpinan Jokowi dapat diterangkan secara linier.Pertama, ia cenderung menghindari konfrontasi. Baik di Solo maupun Jakarta, ia tidak menyukai konflik atau kekerasan sebagai solusi. Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan Pemilihan Presiden 2014, ia kerap menceritakan kisah sukses memindahkan pedagang kaki lima dari kawasan kumuh Taman Banjarsari ke Pasar Klitikan, Solo, lewat 56 kalipertemuan dengan semua pemangku kepentingan, memakan waktu tahunan, tanpa menggunakan "pentungan" dinas ketertiban. Ia punya kesabaran mendengarkan sebelum bertindak.

Kedua, ia membuktikan bukan boneka partai. Baik di Solo maupun Jakarta, alokasi posisi strategis (termasuk kabinet) dari partai utama pendukungnya minimal. Namun, di sini ada perbedaan mendasar pemilihan tim inti. Jika untuk jabatan wali kota dan gubernur ia meminta bantuan konsultan untuk melelang jabatan-jabatan strategis, sebaliknya di lembaga kepresidenan ia lebih banyak disodori dan menyaring nama-nama dari banyak pihak, terutama dari partai pengusungnya.

Ketiga, sebagai pemimpin yang cepat meroket dan lebih banyak mendapat dukungan massa luar partai dan relawan, Jokowi tidak memiliki cukup persiapan untuk meneguhkan dukungan terutama dari kekuatan ekonomi, politik, militer, intelektual, dan aliansi strategis lainnya. Tim lingkar pertama istana kepresidenan merupakan pribadi-pribadi yang berada dalam "radar"-nya, telah bersentuhan dan terlibat sekurang-kurangnya sejak kampanye pilpres.Dari sisi ini, ia tak banyak mempunyai kesempatan dan pilihan melongok tokoh-tokoh otentik di "luar pagar".

Resultan dari ketiga karakteristik Jokowi ini berguna untuk memahami dan memberikan penilaian sementara terkait dengan responsnya pada masalah-masalah serius yang membutuhkan penanganan segera. Terdapat perbedaan antara otentisitas dan cakupan tantangan. Ada ketidaksejajaran dalam mengelola rentang kendali persoalan.

Situasi ini dapat dipahami karena power struggle dan power game masih jauh dari selesai akibat sistem presidensial yang tidak sepenuhnya otonom dan bobotnya lebih berat pada kewenangan sektoral. Belitan oligarki partai dalam mendesakkan kepentingan sangat kuat dan menjadi problem besar demokrasi Indonesia hari ini dan ke depan.

Berkaca pada pidato Bung Karno

Pada 17 Agustus 1964, Bung Karno memberi judul pidatonya Vivere Pericoloso, tahun-tahun penuh marabahaya. Selain konsisten menyerukan ancaman neokolonialisme—kegundahannya sedari belia, sang proklamator juga mengingatkan rongrongan terus-menerus yang mengganggu kedaulatan dan kemajuan bangsa yang bersumber dari ketidaksepakatan merumuskan dan menentukan prioritas tugas besar nasional, terutama karena campur tangan kepentingan elite minoritas.

Kegaduhan tidak perlu, jauh dari mencerdaskan, dan memunggungi gerak maju bangsa telah menguras energi, dan perlahan menggerus kepercayaan dan dukungan publik. Jelas Jokowi berada dalam kepungan oligarki kepentingan. Namun, dengan otentisitas rekam jejak kepemimpinannya selama ini, ia mempunyai kesempatan dan kemampuan melepaskan diri dari jeratan aneka tekanan. Kesungguhannya melalui banyak mendengar dan membangun komunikasi dengan para akademisi, pemerhati ketatanegaraan, cerdik pandai, tokoh-tokoh bangsa, menunjukkan kemauan untuk meramu beragam perspektif di tengah komplikasi politik enam bulan terakhir.

Herry Tjahjono (Kompas, 16/2/2015) menyebut Jokowi sedang kita cemplungkan ke dalam "kolam kepemimpinan" dengan berbagai tekanan dan pengaruh yang sewaktu-waktu dapat mengubah diri idealnya: pekerja keras, pro rakyat, sederhana, dan thoughtfull. Apakah "kolam kepemimpinan" ini identik dengan "kawah candradimuka" yang kelak bakal mengubahnya menjadi pemimpin otentik, terdapat beberapa indikator untuk mengenalinya.

Pertama, sejauh mana ia berpegang teguh pada program Nawacita sebagai panduan melaksanakan cita-cita Trisakti yang menjadi andalannya saat kampanye dan menjiwai program pemerintah 2014-2019. Erudisi terhadap sisi politik-ekonomi-sosial budaya perlu sama kuatnya karena persenyawaan ketiganya sebagai entitas menghendaki lebih dari sekadar pragmatisme dan penyelesaian berdampak terbatas atau parsial.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Nasional
Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Nasional
Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
PDI-P Harap PTUN Tidak Biarkan Pelanggaran Hukum yang Diduga Dilakukan KPU

PDI-P Harap PTUN Tidak Biarkan Pelanggaran Hukum yang Diduga Dilakukan KPU

Nasional
KPK Sebut SPDP Kasus Korupsi di PDAM Boyolali Hoaks

KPK Sebut SPDP Kasus Korupsi di PDAM Boyolali Hoaks

Nasional
Kompolnas Dorong Motif Bunuh Diri Brigadir RAT Tetap Diusut, Meski Penyelidikan Kasus Dihentikan

Kompolnas Dorong Motif Bunuh Diri Brigadir RAT Tetap Diusut, Meski Penyelidikan Kasus Dihentikan

Nasional
Airin Hadir di Taaruf Muhaimin Bersama Calon Kepala Daerah

Airin Hadir di Taaruf Muhaimin Bersama Calon Kepala Daerah

Nasional
Sentil KPU, Hakim MK Arief Hidayat: Sudah Hadir Ya Setelah Viral saya Marahi

Sentil KPU, Hakim MK Arief Hidayat: Sudah Hadir Ya Setelah Viral saya Marahi

Nasional
MPR Akan Temui Prabowo-Gibran Bicara Masalah Kebangsaan

MPR Akan Temui Prabowo-Gibran Bicara Masalah Kebangsaan

Nasional
Hakim Fahzal Hendri Pimpin Sidang Dugaan Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh

Hakim Fahzal Hendri Pimpin Sidang Dugaan Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com