Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengobral Remisi untuk Koruptor

Kompas.com - 15/04/2015, 16:00 WIB

Kedua, mandat Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2012-2015. Dalam Peraturan Presiden No 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014, pada bagian strategi penegakan hukum, telah diamanatkan untuk melakukan pengetatan pemberian remisi kepada terpidana korupsi.

Ketiga, Mahkamah Agung pernah menolak permohonan uji materi PP No 99/2012. Permohonan yang diajukan oleh Rebino, seorang terpidana perkara korupsi, mendalilkan bahwa sejumlah ketentuan dalam PP No 99/2012, khususnya yang berkaitan dengan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, telah bertentangan dengan UU No 1/1995 tentang Pemasyarakatan, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pada 26 November 2013, majelis hakim yang diketuai oleh Muhammad Saleh memutuskan menolak seluruh permohonan dan dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon. Putusan ini sekaligus memberikan legitimasi yang kuat bagi pelaksanaan PP No 99/2012, sehingga tidak ada alasan diskriminatif dan melanggar HAM narapidana korupsi seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh pemerintah.

Keempat, korupsi telah disepakati sebagai kejahatan luar biasa. Penjelasan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada intinya menyatakan, korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dalam upaya pemberantasannya tak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Pengetatan pemberian remisi bagi koruptor seharusnya dimaknai sebagai suatu cara luar biasa pemberantasan korupsi negara ini.

Kelima, adanya keinginan publik agar koruptor tidak diberikan remisi. Hal ini setidaknya bisa tergambar dari jajak pendapat harian Kompas edisi Senin, 23 Maret 2015. Di sana dilansir hasil jajak pendapat masyarakat antara lain tentang persetujuan publik terhadap rencana pemberian remisi bagi koruptor. Dari 736 responden di 12 kota besar di Indonesia, sebanyak 70,1 persen menyatakan tidak setuju remisi diberikan kepada koruptor. Hanya 26,9 persen menyatakan setuju dengan syarat antara lain telah menjalani sebagian hukumannya telah membayar lunas denda yang diputuskan pengadilan, dan mau bekerja sama membongkar pelaku yang lain.

Keenam, pemberian remisi untuk koruptor akan mengurangi efek jera terhadap pelaku. Pada 2014, ICW telah melakukan pemantauan terhadap 395 perkara korupsi dengan 479 terdakwa yang telah diputus oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Dari 479 terdakwa, sebanyak 372 terdakwa (77,6 persen) divonis di bawah empat tahun. Sementara rerata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 8 bulan penjara.

Dengan rata-rata hukuman yang ringan, hanya 2 tahun 8 bulan penjara, ditambah dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat, sudah dipastikan tidak akan memberikan efek jera untuk pelaku. Koruptor bisa bebas lebih cepat keluar daripada waktu yang diputuskan oleh hakim. Ini tentu saja pesan yang buruk kepada publik.

Perbaiki koordinasi

Pada sisi lain, jika jajaran Kemenkumham mengeluhkan masalah implementasi PP No 99/2012, khususnya dalam pemberian remisi, solusinya adalah perbaikan koordinasi antarlembaga penegak hukum dan bukan justru mengubah peraturan yang sudah ada. Solusi lainnya adalah dapat saja disusun peraturan bersama mengenai prosedur pemberian remisi khusus untuk perkara korupsi.

Sekali lagi, publik menagih komitmen pemerintahan Jokowi untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat dan pemberantasan korupsi. Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, remisi untuk terpidana korupsi harus diberikan secara ketat dan bukan justru diobral seperti yang biasa dilakukan oleh toko atau supermarket. Citra pemerintah akan selalu buruk di mata publik jika memperlakukan koruptor dengan istimewa, termasuk dengan memudahkan pemberian atau obral remisi untuk pencuri uang rakyat ini.

Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja ICW

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Rabu (15/4/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com