Menjadi salah satu negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbanyak, tak lantas membuat Indonesia menolak keberagaman. Umat Islam di Indonesia sangat toleran, menerima perbedaan, dan menentang kekerasan.
Itu diungkapkan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan, saat bertemu Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, Kamis (26/3/2015). Umat Islam yang ada di Indonesia, kata Zulkifli, tidak sama dengan umat yang ada dikawasan Afrika atau Timur Tengah. Penganut Islam di Indonesia mau dan bisa menerima berkembangnya sistem demokrasi.
Karena itu, umat Islam di Indonesia gencar menolak tindakan brutal yang mengatasnamakan agama Islam. Tindakan tersebut mengacu pada paham ISIS yang dikenal kejam dan tak berperikemanusiaan.
Tidak sepantasnya masalah SARA masih hidup di tanah air. Apalagi, Indonesia berdiri atas ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Konflik-konflik agama, suku, atau mayoritas-minoritas tentu saja bertentangan dengan prinsip itu.
Penuturan Zulkifli disambut baik oleh Paul. Ia menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat penting, mengingat selama ini hubungan kedua negara ini memberi keuntungan bagi kedua pihak pada berbagai sektor.
Menyempurnakan UUD 1945
Toleransi pada keberagaman di antara seluruh rakyat Indonesia berakar dari konstitusi. Dasar-dasar negara, seperti Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, sudah selayaknya menjadi pegangan dan tumbuh dalam diri masing-masing rakyat Indonesia.
Sebagai lembaga negara, tugas MPR kini tak lagi hanya melaksanakan sosialisasi dasar-dasar negara agar tidak pudar dari diri masyarakat Indonesia. MPR juga berusaha agar nilai-nilai yang terkandung pada itu semua bisa diwujudkan dalam kehidupan berbangsa.
Karena itu, ke depan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal tidak boleh hanya ada dalam retorika. Idealnya, itu semua harus diwujudkan dalam perilaku hidup sehari-hari.
"Pekerjaan ini adalah tugas seluruh komponen bangsa Indonesia, bukan semata kewajibannya MPR. Bahkan, kami juga sudah meminta Presiden untuk mendirikan badan yang khusus melakukan sosialisasi, seperti yang pernah ada di zaman dahulu," ungkap Zulkifli ketika menemui Pengurus Gerakan Pemantapan Pancasila di ruangannya di Gedung Nusantara 3 Kompleks MPR/DPR/DPD, Jakarta.
Selanjutnya, Zulkifli mengatakan, MPR akan melakukan sistem ketatanegaraan. Langkah awal dimulai dengan mengubah UUD 1945. Untuk itu, pihaknya telah membentuk Lembaga Pengkajian untuk mengkaji segala keperluan jika perubahan UUD 1945 itu nantinya benar-benar terjadi.
Langkah ini diapresiasi Sekjen Gerakan Pemantapan Pancasila, Saiful Sulun. Menurutnya ini penting karena pelaksanaan ideologi Pancasila tidak akan berhasil jika konstitusinya tidak sesuai dengan lima sila tersebut.
Bagi gerakan tersebut, hanya dengan ideologi dan demokrasi Pancasila Indonesia bisa bangkit. Saiful menambahkan, Pancasila bisa membangun Indonesia, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Sementara itu, mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, yang juga hadir dalam pertemuan itu, menyatakan tidak setuju apabila perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan pada saat reformasi. Itu bukanlah waktu yang tepat, katanya.
Itu sebabnya, jika MPR berencana mengubah UUD 1945, Gerakan Pemantapan Pancasila akan ikut mengawal, agar tidak menyimpang dari Pancasila. Ketika UUD 1945 disusun pertama kalinya, Presiden RI pertama, Soekarno mengingatkan untuk melakukan perubahan pada saat yang tepat.
"Kalau boleh, istilah yang dipakai bukan mengubah atau amandemen, tapi menyempurnakan UUD 1945," tambah Try Sutrisno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.