Namun, Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengingatkan, "Sejauh ini, DPR tidak pernah menunjukkan komitmen pertanggungjawaban anggaran secara transparan. Apa dan siapa yang bisa menjamin kali ini kasusnya berbeda?"
Tunjangan
Lepas dari adanya potensi penyelewengan dan korupsi, dana rumah aspirasi sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Ini karena anggota DPR telah mendapat banyak anggaran dan tunjangan yang dapat dipakai untuk mengelola rumah aspirasi.
Berdasarkan rincian Bagian Administrasi Keuangan Sekretariat Jenderal DPR RI, setiap anggota telah mendapat alokasi tunjangan yang berkaitan dengan proses penyerapan aspirasi di daerah. Dari total penghasilan bulanan sekitar Rp 50 juta, di dalamnya ada tunjangan untuk penyerapan aspirasi masyarakat sebesar Rp 8,5 juta dan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 14,1 juta.
Dengan demikian, total alokasi dana yang berhubungan dengan konstituen di daerah adalah Rp 22,6 juta per bulan. Apabila ditambah dengan dana rumah aspirasi yang direncanakan sebesar Rp 12,5 juta per bulan, seorang wakil rakyat mendapat Rp 35,1 juta.
Di luar tunjangan bulanan di atas, anggota DPR juga mendapatkan dana reses Rp 150 juta sekali reses. Ada empat kali reses dalam setahun, yang lamanya sekitar satu bulan. Sehingga dalam satu tahun, setiap anggota DPR mendapat uang reses Rp 600 juta.
Di samping pendapatan di atas, setiap anggota DPR masih mendapat sejumlah anggaran lain, seperti untuk melakukan kunjungan kerja di dalam maupun luar negeri, perjalanan ke dapil saat reses, hingga sosialisasi sidang "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara" yang berasal dari Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Korupsi
Melihat pendapatan anggota DPR saat ini, muncul pertanyaan, apakah sebagian dari mereka akan tetap korupsi?
Peneliti Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan, peningkatan bantuan dana untuk anggota DPR belum tentu berbanding terbalik dengan tingkat korupsi. Menurut dia, tidak ada pengalaman yang menjamin, semakin banyak uang yang diterima, semakin kecil potensi korupsinya.
"Justru semakin banyak uang, ditambah dengan mekanisme pertanggungjawaban yang tidak transparan, akan memperbesar potensi korupsi," kata Donal.
Sejak era reformasi hingga saat ini, ada sekitar 70 anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi. Korupsi yang dilakukan anggota DPR ini, umumnya terkait dengan kongkalikong anggaran proyek pemerintah yang juga melibatkan pejabat kementerian, pengusaha, hingga pejabat pemerintah daerah. Peran anggota DPR dalam kongkalikong ini, biasanya memperjuangkan atau mengamankan alokasi anggaran untuk proyek-proyek di kementerian atau pemda yang akan dijadikan bancakan.
Kasus pengurusan alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) tahun anggaran 2011 yang membuat (mantan) anggota DPR Wa Ode Nurhayati diproses hukum, menjadi salah satu contoh kongkalikong tersebut.
Kongkalikong lainnya, antara lain terlihat dalam kasus proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games dan sarana olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Apakah kasus-kasus seperti itu akan terulang kembali? Mudah-mudahan tidak. (Anita Yossihara/Agnes Theodora/Fajar Marta)
*Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Kamis (19/3/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.