Konflik itu menimbulkan kesangsian: apakah kedaulatan rakyat masih punya makna atau menunjuk realitas tertentu. Jangan-jangan kedaulatan rakyat tak bermakna lagi, hanya menutupi realitas pertarungan untuk kekuasaan di antara kelompok-kelompok (parpol) dengan tujuan utama menjamin kendali negara dan mendistribusikan secara sepihak posisi kekuasaan.
Konflik KPK-Polri menunjukkan pergeseran permasalahan karena menghilangnya masalah legitimitas demi legalitas. Legitimitas KPK sedang diserang atas nama legalitas tindakan Polri. Konflik KPK-Polri adalah bentuk konflik laten yang menjadi konflik aktual. Kontestasi Polri karena tersingkir dari peran pemberantasan korupsi, dan bahkan menjadi sasaran utama. Dengan mengandalkan legalitasnya sebagai lembaga koersif, Polri mengembangkan kesadaran akan kepentingannya sehingga kontestasinya terungkap dalam afirmasi legitimitas alternatif. Seharusnya legitimitas Polri atau KPK diukur pertama-tama bukan dari dasar hukum, melainkan dari keberhasilan memberantas korupsi dan mengembalikan uang negara yang dikumpulkan dari para wajib pajak.
Legalisme juga tampak ketika DPR dan Wantimpres dengan mengatasnamakan legalitas mempertanyakan legitimitas moral Tim Sembilan. Padahal, pembentukan KPK atau Tim Sembilan karena alasan lemahnya kinerja lembaga-lembaga yang ada. Karut-marutnya political society mendinamisasi masyarakat madani untuk mendorong perluasan demokrasi.
Partisipasi dan ruang publik
Masalahnya, sejauh mana negara bisa mengintegrasikan tuntutan perluasan demokrasi yang berasal dari berbagai sektor masyarakat: kaum intelektual, gerakan buruh, mahasiswa, budaya, atau gerakan-gerakan lokal dan regional? Jadi, legitimitas demokrasi harus menjawab tuntutan warga negara untuk secara langsung diikutsertakan dalam konsultasi dan keputusan yang terkait nasib mereka. Jadi, urgensi pemecahan masalah konflik Polri-KPK perlu dipikirkan dalam kerangka mengaktifkan kembali prinsip dasar demokrasi dan perwujudannya dalam hidup sehari-hari. Ini tak bisa dilepaskan dari reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi tidak hanya masalah memperbaiki manajemen publik, tetapi juga membangun institusi lebih adil, yang hanya mungkin apabila demokrasi efektif. Demokrasi efektif apabila ada partisipasi terbuka dan kompetitif, yaitu ketika rakyat bisa mengungkapkan pilihan-pilihannya dan diperhitungkan oleh para pengambil keputusan. Partisipasi efektif apabila rakyat memiliki kekuatan tawar yang riil, artinya mampu memberi imbalan kepada pemerintah yang efektif dan bisa menjatuhkan pemerintah yang tidak kompeten atau yang menyalahgunakan kekuasaan (F Lordon, 2008: 7). Reformasi birokrasi dilakukan dalam kerangka menghadapi persaingan legitimitas akibat tuntutan dinamisme masyarakat madani. Arah reformasi itu mencegah privatisasi fungsi negara dan pelemahan ruang publik. Godaan untuk kriminalisasi awak media mengandung bahaya melemahkan ruang publik sehingga demokrasi semakin tidak efektif.
Haryatmoko
Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia