Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pergeseran Legitimitas ke Legalitas

Kompas.com - 17/03/2015, 15:10 WIB


Oleh: Haryatmoko

JAKARTA, KOMPAS - Konflik Komisi Pemberantasan Korupsi-Polri perlu dilihat dari kacamata etika politik, yaitu sebagai bentuk resistensi terhadap upaya penguatan lembaga-lembaga pemerintahan.

Padahal, upaya penguatan itu agar demokrasi efektif. Dua masalah menghambat demokrasi efektif. Pertama, masalah persaingan legitimitas lembaga-lembaga negara yang riskan melemahkan masyarakat madani; dan kedua, kesulitan melaksanakan reformasi birokrasi.

Masalah legitimas merupakan titik simpul persaingan lembaga-lembaga pemerintahan. Dalam konflik KPK-Polri, kelihatan persaingan keduanya berakar pada masalah pelemahan kewenangan salah satu pihak. Banyak pengamat menganggap masalahnya sederhana: jika Presiden Joko Widodo tegas memerintahkan penghentian kriminalisasi terhadap pimpinan, staf KPK, dan pegiat anti korupsi, semua akan beres. Namun, di balik konflik itu, masih tersisa masalah persaingan legitimitas. Tanpa penyelesaian mendasar, konflik akan terulang.

Legitimitas bukan hanya legitimitas hukum, melainkan kewibawaan yang tumbuh berkat trust, buah dari akuntabilitas dan transparansi. Tiga faktor yang mungkin memicu Polri melawan. Pertama, Polri merasa direndahkan dengan diumumkannya status Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Pernyataan publik bahwa yang dibidik oknum, bukan lembaga Polri, tak mampu mencegah ketersinggungan Polri.

Kedua, sepak terjang KPK memberi kesan "tebang pilih", sejawatnya TNI lepas dari penyelidikannya. Kedigdayaan TNI, yang membuat KPK kecut untuk menyelidikinya, memberi inspirasi Polri untuk unjuk kewenangan ketika merasa diperlakukan tidak adil, lepas dari kebenaran kasus atau masalah rekayasa politik/hukum.

Ketiga, Polri gerah menghadapi opini publik yang tak memihaknya. Hal ini menyakitkan karena seperti mengkristalkan akumulasi ketidakpuasan dan protes terhadap kinerja Polri.

Kasus BG sebetulnya sekadar pemicu polarisasi opini publik yang tidak puas terhadap Polri dan berpihak ke KPK. Memang peran media besar dalam polarisasi opini ini. Maka, Polri menyerang KPK dari sisi yang bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat, yaitu integritas pimpinannya, untuk membalikkan simpati publik. Namun, upaya Polri memberi kesan dicari-cari sehingga menjadi bumerang.

Opini publik bisa semakin negatif jika Polri melanjutkan politik kriminalisasi awak media. Akibatnya, keseriusan Polri membangun akuntabilitas dan transparansi selama ini bisa dilemahkan oleh tiadanya dukungan media. Lalu, delapan program quick wins Polri bisa terhambat oleh kebijakan reaksioner kriminalisasi, padahal tidak sedikit prestasi diukir Polri yang terbukti berdampak positif bagi masyarakat.

Melemahnya legitimitas

Apa yang sedang kita saksikan sebetulnya adalah proses melemahnya legitimitas lembaga-lembaga pemerintahan. Akar permasalahannya bisa dirunut ke krisis kepercayaan terhadap partai politik, terutama akibat korupsi kartel-elite yang melibatkan parpol, pengusaha, birokrat, dan penegak hukum dalam situasi politik yang ditandai ciri-ciri ini (M Johnston, 2005: 89): (1) para pemimpin menghadapi persaingan politik dalam lembaga-lembaga yang masih lemah; (2) sistem peradilan penuh kompromi atau korup; (3) parpol tidak cukup mengakar, tetapi lebih mewakili elite yang bersaing; (4) birokrasi sangat rentan korupsi. Akibatnya, politik menjadi penuh risiko dan ketidakpastian.

Situasi ketidakpastian itu mendorong korupsi kartel-elite karena uang menjadi satu-satunya sarana untuk mempertahankan hegemoni dalam persaingan politik. Padahal, partisipasi juga lemah dan mudah dimanipulasi, sedangkan lembaga pemerintahan, termasuk Polri, mudah diintervensi parpol. Akibatnya, kinerja Polri menjadi kurang efektif.

Demokrasi dewasa ini sifatnya oligarki karena de facto kebijakan pemerintah dijalankan oleh minoritas (pimpinan parpol, birokrat, dan pengusaha). Memang kekuasaan oligarki awalnya dipilih oleh rakyat. Pemerintah (oligarki) mau memonopoli ruang publik; meminggirkan pelaku-pelaku yang bukan negara ke lingkup privat. Tujuan oligarki memerintah tanpa rakyat, tanpa partisipasi politik. Dengan demikian, demokrasi menjadi rezim perhambaan: semangat publik hilang sehingga politisi hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Dalam situasi perhambaan itu, ruang publik melemah ditindas oleh ranah privat yang menggelayuti politisi dalam bentuk hasrat balas dendam atau perhitungan untuk menyelamatkan diri. Akibatnya, reformasi birokrasi direduksi menjadi masalah manajerial, yaitu menggantikan legitimitas demokrasi (landasannya kedaulatan rakyat) dengan kekuasaan yang hanya didasarkan pada kepakaran dan rekayasa media. Maka, perlu memikirkan kembali legitimitas demokrasi agar dirancang kembali bentuk dan prosedurnya, terutama efektivitas representasinya.

Tujuannya untuk mengoreksi sistem representasi, jika perlu dilengkapi prasarana lain agar memungkinkan warga negara lebih aktif terlibat langsung dalam pemilihan keputusan politik. Maka, dalam konflik KPK-Polri, terbentuknya Tim Sembilan menarik disimak. Apakah Tim Sembilan itu didesain dalam kerangka penguatan masyarakat madani agar memicu pembenahan lembaga representasi atau sekadar reaksi kepanikan?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

Nasional
PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

Nasional
KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

Nasional
MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

Nasional
Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

Nasional
Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Nasional
Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com