Oleh: Riana A Ibrahim
JAKARTA, KOMPAS - Hampir 100 hari usia Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Agung. Beberapa kasus yang masuk penyidikan telah diumumkan ke publik. Namun, kasus prioritas yang disebut di awal-awal ternyata belum bergaung. Nyali Satgassus yang beranggotakan 100 jaksa ini mulai dipertanyakan.
Tepat sehari setelah pelantikan Satgassus pada 8 Januari 2015, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Widyopramono mengungkapkan, kasus rekening atau transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada awal Desember 2014 akan menjadi prioritas. Wajar, jumlah nilai dugaan tindak pidana korupsinya cukup besar.
Salah satu kasus itu adalah Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang diduga mendapat aliran dana hingga 4,5 juta dollar AS pada 2010 dari perusahaan tambang di Hongkong. Kemudian, diduga ada nama Bupati Pulang Pisau Achmad Amur yang sempat disebut, tetapi tak kunjung diungkap.
Namun, belakangan ini, alih-alih mengungkap kasus dengan nilai dugaan tindak pidana korupsi yang besar, Satgassus malah bermain dalam kasus dengan nilai tak terlalu besar. Widyo mengungkapkan, beberapa kasus yang naik penyidikan adalah dugaan tindak pidana korupsi bantuan sosial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cirebon yang menjerat tiga tersangka dengan kerugian negara Rp 1,8 miliar.
Kemudian, kasus korupsi alat kontrasepsi di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dengan lima tersangka dan jumlah kerugian negara Rp 4,4 miliar. Selain itu, kasus korupsi pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan di RSUD Raden Mataher, Jambi, yang menetapkan dua tersangka dengan kerugian negara Rp 2,5 miliar. Ada pula kasus proyek pengadaan program siap siar di TVRI dengan tiga tersangka dan kerugian negara Rp 3,6 miliar.
Penetapan tersangka dalam kasus yang naik penyidikan juga tak banyak menyeret nama orang besar. Umumnya yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut adalah pihak swasta. Hanya beberapa yang menarik perhatian, yaitu Wakil Bupati Cirebon Tasiya Soemadi dalam kasus bantuan sosial APBD Cirebon dan seniman Betawi, Mandra Naih, dalam kasus proyek pengadaan program siap siar TVRI.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, unit tindak pidana khusus Kejaksaan Agung harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai lambannya penanganan korupsi meski sudah ada Satgassus. Unit tindak pidana khusus juga dituntut menggandeng PPATK untuk kasus-kasus yang dianggap sulit dalam penyelesaiannya.
"Jika tidak, nantinya pembentukan Satgassus dikhawatirkan hanya akan dianggap sebagai pencitraan," ujar Ade. Hal itu masuk akal mengingat pada masa Jaksa Agung Hendarman Soepandji, tahun 2008, juga dibentuk satuan khusus pemberantas tindak pidana korupsi yang serupa. Namun, nyatanya beberapa kasus mangkrak atau tak diusut sampai tuntas.
Penambahan anggaran
Pembentukan Satgassus sempat menjadi sorotan Komisi III DPR dalam rapat kerja dengan Kejaksaan Agung, 28 Januari lalu. Beberapa anggota Komisi III saat itu khawatir pembentukan Satgassus hanya akan menambah beban anggaran negara dan memunculkan tumpang tindih tugas di Kejaksaan Agung.
Anggota Komisi III yang pertama kali mempertanyakan pembentukan Satgassus adalah Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar. Ia menyarankan Kejaksaan Agung memperkuat tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang selama ini mengurusi tindak pidana korupsi.
"Satgassus Tipikor ini di bawah koordinasi siapa sebenarnya? Kenapa tak dimaksimalkan saja Jampidsus dan jajarannya yang sudah ada? Apakah (pembentukan satuan khusus) malah tidak menambah beban biaya negara?" ujar Adies saat itu.
Dengan nada lebih keras, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Junimart Girsang, bahkan meminta Kejaksaan Agung tidak membentuk dan menjalankan Satgassus. Ia mengaitkan kinerja Satgassus ke depan dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki Kejaksaan Agung. Anggaran yang terlalu kecil dikhawatirkan akan memengaruhi kinerja Satgassus yang "suam-suam kuku".
"Dengan tegas saya katakan, jangan teruskan daripada masyarakat ujung-ujungnya kecewa karena Satgassus tidak berjalan sesuai visi dan misi pembentukannya. Bagaimana satuan mau berjalan kalau 100 jaksa terpilihnya tidak cukup bayaran?" ujar Junimart.
Menanggapi berbagai pertanyaan dari sejumlah Komisi III tersebut, Jaksa Agung HM Prasetyo meminta DPR tidak mengkhawatirkan pembentukan Satgassus. Ia meyakinkan, Kejaksaan Agung belum akan meminta anggaran untuk pelaksanaan Satgassus. "Kami tak akan cengeng meminta anggaran khusus. Tak usah khawatir menambah beban APBN," katanya.
Namun, saat membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 dengan Komisi III DPR pada 10 Februari lalu, ternyata ada penambahan anggaran penanganan perkara pidana khusus di kejaksaan yang amat mencolok. Kejaksaan Agung meminta tambahan anggaran Rp 4,24 miliar dari sebelumnya Rp 347,3 juta.
Jaksa Agung Muda Pembinaan Bambang Waluyo beralasan, peningkatan anggaran dibutuhkan karena beban perkara Satgassus Tipikor ikut berdampak pada anggaran pidana khusus. Ia mengatakan, ada 30 perkara tambahan yang kini ditangani Satgassus Tipikor dan butuh biaya yang tidak kecil. "Ini dampak karena ada Satgassus. Tidak heran anggaran bertambah karena volume pekerjaan lebih banyak," kata Bambang.
Ia menegaskan, anggaran tidak ditujukan untuk membayar upah 100 jaksa yang tergabung dalam Satgassus, tetapi untuk biaya operasional penanganan perkara. Untuk gaji jaksa, Kejaksaan Agung masih mengandalkan alokasi dari APBN 2015.
Anggaran pidana khusus yang tetap membengkak itu menyulut komentar dari Adies Kadir, anggota Komisi III DPR. "Dulu, Pak JA (Jaksa Agung) bilang tidak mau minta anggaran untuk Satgassus. Tetapi, ternyata anggaran tetap saja naik karena Satgassus. Saya harap anggaran benar-benar dipakai untuk penindakan korupsi," ujarnya.
Di tengah polemik tentang Satgassus ini, korupsi sudah merajalela. Berdasarkan data ICW, jumlah tindak pidana korupsi naik dari 560 kasus dengan 1.271 tersangka pada 2013 menjadi 629 kasus dengan 1.328 tersangka pada 2014. Tindak pidana korupsi pada 2014 telah merugikan negara Rp 5,2 triliun.
Untuk masalah penanganan kasus, ICW mendapati kejaksaan menangani paling banyak kasus dibandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kejaksaan menangani 472 kasus dengan penyelamatan uang negara hingga Rp 1,7 triliun sepanjang 2014. Sementara KPK hanya menangani 34 kasus, tetapi berhasil menyelamatkan uang negara hingga Rp 2,9 triliun.
Melihat data itu, muncul pertanyaan tentang terobosan yang dibuat Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi. Apakah Satgassus benar-benar punya nyali, keberanian, dan telah membuat sejumlah terobosan? Jaksa Agung HM Prasetyo pernah berjanji, Satgassus akan dievaluasi saat berumur tiga bulan. Kini, hasil evaluasi itu terus dinanti. Janji Pak Jaksa Agung untuk menghabisi korupsi tentu tidak main-main, kan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.