JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa pemberian maupun penolakan permohonan grasi merupakan hak prerogatif Presiden. Menurut Prasetyo, tidak ada upaya hukum yang bisa menghalangi keputusan Presiden mengenai hal tersebut.
"Rasanya tidak ada satu pihak mana pun yang bisa menghalangi, apalagi membatalkan. Sepenuhnya hal itu menjadi wewenang kepala negara untuk memberikan grasi apakah diterima atau ditolak," ujar Prasetyo saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (20/2/2015).
Prasetyo mengatakan, siapa pun berhak mengajukan upaya hukum, termasuk mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap keputusan Presiden. Namun, menurut Prasetyo, tindakan tersebut tidaklah tepat. Ia mengatakan, kewenangan Presiden tersebut diatur dalam konstitusi dan tidak dapat dibatalkan.
Menurut dia, Presiden berhak melakukan intervensi dalam permohonan mengenai grasi, amnesti, abolisi, serta rehabilitasi. "Dalam meninjau permohonan, Presiden melihat pertimbangan Mahkamah Agung, kasusnya seperti apa. Nanti akan disampaikan semuanya, si A kejahatannya seperti apa, si B seperti apa," kata Prasetyo.
Pada 11 Februari 2015, Todung Mulya Lubis, kuasa hukum dari dua terpidana mati dalam kasus "Bali Nine", Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, telah melakukan gugatan terhadap surat Keputusan Presiden yang pada intinya menolak permohonan grasi bagi Andrew dan Myuran. Gugatan tersebut merujuk pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Todung meminta agar Kejaksaan Agung menunda pelaksanaan eksekusi mati. Menurut dia, pemerintah sebaiknya menghargai proses hukum yang sedang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.