Sebagaimana yang diperjelas dalam Pasal 13 huruf b bahwa tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum. Perlu digarisbawahi, secara filosofis apa yang dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 13 melekat kepada semua anggota kepolisian. Jadi, secara fungsional setiap anggota kepolisian adalah penegak hukum. Dalam kaitan ini, pertimbangan hakim hanya melihat aspek struktural.
Pertimbangan hakim tersebut tentu dapat dengan mudah dibantah melalui analogi sederhana. Apakah polisi lalu lintas merupakan penegak hukum? Jika berkaca pada pertimbangan hakim, polisi lalu lintas tentu tak masuk kualifikasi penegak hukum.
Lantas, jika bukan penegak hukum, mengapa anggota kepolisian lalu lintas melakukan penegakan hukum lalu lintas? Bukankah polisi lalu lintas tak masuk kategori penegak hukum menurut logika hakim Sarpin?
Tak ada SP3
Secara normatif, putusan praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penetapan tersangka berimplikasi pada tidak sahnya penyidikan. Sebagai akibat dari putusan tersebut, konsekuensi hukumnya adalah proses penyidikan yang berjalan harus dihentikan untuk dimulai kembali sesuai hukum acara. Penghentian tersebut haruslah menggunakan mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjelaskan bahwa KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penyelidikan. Dalam konteks ini, sekali lagi hakim terbukti tak cermat dan teliti dalam memutus perkara.
Hakim lupa bahwa Pasal 40 UU KPK akan dengan sendirinya menggugurkan putusan praperadilan Budi Gunawan. Dengan begitu, KPK tak perlu ragu untuk melanjutkan proses penyidikan perkara korupsi Budi Gunawan. Sebab, putusan tersebut tak memiliki kekuatan eksekusi mengikat kepada KPK.
Sebaliknya, jika Budi Gunawan berlindung di balik putusan praperadilan, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.
Aradila Caesar Ifmaini Idris
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch