JAKARTA, KOMPAS.com — Tim pengacara tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan menghadirkan mantan penyidik KPK, AKBP Irsan, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/2/2015). Dari Irsan, tim pengacara menggali soal proses penanganan perkara di KPK.
Irsan mulai bekerja di KPK sejak November 2005 sampai Desember 2009. Awalnya, ia menjelaskan prosedur operasi standar (SOP) penanganan kasus di KPK, mulai dari penyelidikan hingga penyidikan.
Ia menjelaskan, SOP baru dijalankan pada 2007. Sebelum ada SOP yang disusun dari berbagai undang-undang, prosedur tiap-tiap tim berbeda-beda dalam penanganan perkara.
Misalnya, sebelum ada SOP, ada yang menuliskan tersangka di surat perintah penyidikan (sprindik), ada pula yang hanya menuliskan perkara tanpa ada nama tersangka. Setelah ada SOP, nama tersangka harus dituliskan dalam sprindik.
Irsan juga diminta menjelaskan bagaimana proses mulai dari pengumpulan alat bukti hingga penetapan tersangka. Ia juga menceritakan pengalamannya dalam penanganan perkara di KPK.
Sementara itu, pengacara Budi Gunawan menganggap pihak KPK melakukan tindakan sewenang-wenang dalam penetapan tersangka calon kepala Polri itu. Mereka merasa KPK tidak bekerja sesuai aturan.
Tim pengacara Budi menganggap penetapan kliennya sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK merupakan bentuk intervensi terhadap keputusan Presiden. KPK telah melewati wewenangnya dalam pemilihan calon kepala Polri. Akibatnya, proses pelantikan Budi sebagai kepala Polri terhambat.
Sesuai dengan Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tim pengacara mengatakan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah penyelidikan dan penyidikan. Namun, dalam proses pemilihan kepala Polri, KPK menyalahgunakan tugas dan wewenangnya dengan bersikukuh ikut dalam proses tersebut.
Menurut pihak Budi, penetapan Budi sebagai tersangka ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Polri tidaklah tepat. Alasannya, pada posisi jabatan tersebut, Budi bukan termasuk aparat penegak hukum sehingga penyelidikan atau penyidikan tak bisa dilakukan. Jabatan tersebut juga tak termasuk penyelenggara negara karena bukan bagian dari jabatan eselon I.
Penetapan tersangka Budi yang tanpa diawali pemanggilan dan permintaan keterangan secara resmi dianggap sebagai tindakan melanggar hukum. Menurut Pasal 5a UU Nomor 30 Tahun 2002, untuk menjunjung ketentuan hukum, dua proses tersebut harus dilakukan dalam penyelidikan dan penyidikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.