Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya Pelemahan Anti Korupsi Terjadi sejak Awal...

Kompas.com - 26/01/2015, 14:00 WIB


JAKARTA, KOMPAS - Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Ironis. Kata itulah yang tepat dikatakan untuk menggambarkan kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi di negeri ini. KPK yang dibentuk untuk mendinamisasi lembaga pemerintah yang selama ini menangani perkara korupsi, yaitu kejaksaan atau kepolisian, kini kembali diusik oleh kepolisian yang didukung sebagian partai politik dan wakil rakyat.

Kian ironis karena kalimat pada awal tulisan ini, yang menegaskan latar belakang kelahiran KPK, tersurat dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. UU KPK disahkan pada 27 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Kini, upaya pelemahan terhadap KPK paling nyata juga datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin Megawati.

Upaya pelemahan mencuat setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Polri yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR, sebagai tersangka korupsi. Budi adalah mantan ajudan Megawati saat yang bersangkutan menjadi wakil presiden (1999- 2001) kemudian presiden (2001-2004).

Langkah KPK itu terkesan dibalas oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang membeberkan pertemuan Ketua KPK Abraham Samad dengannya dan kader PDI-P lain untuk menjadi calon wakil presiden bagi Jokowi. Abraham dituduh melanggar kode etik KPK.

Lalu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena dituduh merekayasa kesaksian palsu di Mahkamah Konstitusi (MK). Pelapor perkara itu adalah Sugianto Sabran, calon Bupati Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dan mantan anggota DPR dari PDI-P. Wakil Ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja, juga telah dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tudingan mengambil alih saham.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Silestinus prihatin dengan kondisi KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia di Jakarta, Minggu (25/1), meminta Presiden Jokowi, yang dicalonkan PDI-P, konsisten pada programnya, Nawa Cita, yang mengedepankan pemberantasan korupsi dengan memperkuat KPK. Presiden harus dibebaskan dari kepentingan sesaat partai, termasuk kepentingan pribadi pimpinan partai.

Sejak awal

Bukan kali ini saja pemberantasan korupsi di negeri ini terhalang. Halangan justru dari pemerintah dalam arti luas, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Soeharto berniat serius memberantas korupsi dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Sugih Arto tahun 1967. Tim itu tidak pernah jelas hasilnya. Pemerintahan Orde Baru terus mengenalkan berbagai badan anti korupsi, seperti Komisi Empat yang dipimpin Wilopo (1970), Komisi Anti Korupsi Angkatan 66 (1970), Operasi Penertiban (1977), dan Tim Pemberantasan Korupsi (1982). Berbagai tim itu lenyap karena terkendala konsistensi pemerintah dalam memberantas korupsi.

Gerakan Reformasi 1998 muncul salah satunya dipicu oleh tingginya kasus korupsi. Tahun 2000 lahir Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto. Tim ini segera membuka dugaan korupsi di lembaga yudikatif. Namun, tim itu lalu bubar. Dasar hukum pembentukannya, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000, diuji materi di Mahkamah Agung dan dinyatakan tak berlaku.

Sementara Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) sebagai lembaga pencegahan korupsi dileburkan dalam KPK tahun 2002. Pembentukan KPK pun terlambat dari waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seharusnya KPK terbentuk pada Agustus 2001, tetapi terbentuk pada Desember 2002. KPK bertugas setahun setelah undang-undangnya ditetapkan.

Penyusunan rancangan UU KPK dipimpin Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, tahun 2001, dengan melibatkan unsur kepolisian, kejaksaan, pemerintahan, akademisi, aktivis anti korupsi, dan media. Sejak awal pembahasan, kepolisian dan kejaksaan keberatan karena dianggap tak mampu memberantas korupsi. Kepolisian dan kejaksaan semula keberatan dengan kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan menyupervisi penanganan perkara korupsi dari kedua lembaga itu, bahkan bisa mengambilalih penanganan perkara korupsi. Namun, penolakan itu dimentahkan karena pembentukan KPK adalah amanat UU.

Tim Penyusun RUU KPK sebenarnya menyadari komisi ini dapat dilemahkan dari sisi anggaran. Dalam draf akhir RUU KPK ditegaskan, 10 persen dari uang negara yang bisa dikembalikan oleh komisi itu menjadi haknya untuk menunjang operasionalisasi. Namun, anggota DPR menolak usulan itu. Sesuai Pasal 64 UU No 30/2002, pembiayaan KPK tergantung pada APBN sepenuhnya. Jika DPR dan Presiden sepakat menekan anggaran bagi KPK, dipastikan gerak komisi itu terganggu.

Pasal 20 UU KPK menegaskan, komisi ini bertanggung jawab kepada publik. Namun, pimpinan KPK dipilih oleh DPR sehingga memungkinkan terjadi intervensi politik di dalamnya. Parlemen menjadi lembaga yang paling memungkinkan melemahkan pemberantasan korupsi dengan cara memilih pimpinan KPK sesuai selera dan kepentingan partai.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Nasional
Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Nasional
Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Nasional
Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat Kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat Kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Nasional
Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Nasional
Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Nasional
KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Nasional
195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

Nasional
Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com