Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan PDI-P Pasca Megawati

Kompas.com - 09/01/2015, 08:25 WIB


Oleh: Ikrar Nusa Bhakti

KOMPAS.com - Hampir dapat dipastikan, pada Kongres Nasional IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada April 2015, partai berlambang banteng gemuk itu akan kembali memilih Diah Permata Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.

Ini berarti, Megawati akan memimpin PDI-P untuk lima tahun ke depan setelah 21 tahun menakhodai partai nasionalis itu sejak terpilih menjadi ketua umum pada Kongres Nasional Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada Desember 1993. Pada Kongres PDI itu, ia mengalahkan petahana, Ketua Umum PDI Soerjadi, yang semakin kritis terhadap pemerintah, dan Budi Hardjono, tokoh PDI yang dipandang sangat bersahabat dengan penguasa Orde Baru.

Upaya penguasa Orde Baru untuk mengudeta Megawati dan meletakkan kembali tokoh yang awalnya tidak disukai penguasa, Soerjadi, melalui Kongres Luar Biasa PDI di Medan pada 1996, kandas. Dukungan aparat keamanan kepada Soerjadi untuk merebut kembali Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta—melalui peristiwa 27 Juli 1996—juga tidak membawa hasil. Karena ada dualisme kepemimpinan di PDI antara Soerjadi dan Megawati, faksi yang mendukung Megawati mengadakan Kongres Nasional pada Oktober 1998 dan mengganti nama PDI menjadi PDI-Perjuangan, memilih Megawati sebagai ketua umum kembali dan menominasikannya sebagai calon presiden RI setelah jatuhnya Soeharto.

Apabila kita jumlahkan seluruhnya, Megawati memiliki rekor terlama sebagai ketua umum partai di Indonesia, yakni 26 tahun 4 bulan ketika ia berhenti sebagai Ketua Umum PDI-P pada April 2020. Pada saat itu, Megawati Soekarnoputri yang lahir pada 23 Januari 1947 juga akan berusia 72 tahun 3 bulan, usia yang tidak muda lagi untuk memimpin partai di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin semarak dan rumit.

Karena itu, adalah suatu yang alamiah apabila PDI-P yang akan berulang tahun ke-42 pada 10 Januari 2015 ini mulai memikirkan regenerasi kepemimpinan agar PDI-P tetap berjaya dalam kompetisi dan kontestasi politik di Indonesia. Pertanyaannya, langkah politik dan organisatoris apa saja yang patut diambil oleh Megawati ke depan?

Asam garam politik

Megawati adalah tokoh politik yang sudah makan asam garam politik sangat lama. Tempaan politik yang ia alami selama lima tahun pertama kepemimpinannya di PDI, 1993-1998, menjadikan dirinya sangat matang dalam memimpin PDI-P di kemudian hari. Kegagalannya untuk terpilih menjadi presiden RI melalui pemilihan di MPR pasca Pemilu 1999 tidak menjadikan dirinya patah arang. Ia tetap menerima posisinya sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid  (Gus Dur). Ketika Gus Dur dimakzulkan MPR pada Juli 2001, Mega pun otomatis jadi presiden pada 23 Juli 2001-20 Oktober 2004.

Mega juga merasakan rasa pahit ketika ia dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada dua kali pemilihan presiden langsung, 2004 dan 2009. Rasa sakit juga ia alami ketika beberapa tokoh PDI-P yang amat dekat dengannya keluar dari PDI-P menjelang Pemilu 2004 dan mendirikan Partai Demokrasi Perjuangan (PDP) pada 2005. PDP tak bertahan lama karena pecah menjadi dua, PDP pimpinan Roy BB Janis dan PDP pimpinan Laksamana Sukardi.

Memimpin PDI-P yang berideologi Pancasila yang Soekarnois nasionalistik bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi partai ini awalnya adalah hasil penggabungan  (fusi) paksa lima partai pada era Orde Baru, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik. Karena itu, tidaklah mengherankan jika PDI-P sering dikonotasikan atau bahkan dipropagandakan secara negatif oleh para pesaing politiknya sebagai partai nasionalis ortodoks, nasionalis kiri, dan nasionalis Kristen.

Apabila kita bandingkan perolehan suara sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu 2014, tampak jelas terjadi pasang surut perolehan suara partai nasionalis dan partai Kristiani yang mendukung PDI-P. Pada Pemilu 1955, yang memperebutkan 260 kursi DPR dan 520 kursi Konstituante (MPR sekarang), PNI mendapat 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,32% suara), Parkindo 8 kursi (2,66%), Partai Katolik 6 kursi (2,04%), IPKI 4 kursi, dan Murba 2 Kursi.

Kita tidak membandingkan suara dengan semua pemilu pada era Orde Baru karena adanya dugaan bahwa pemilu Orde Baru hanya untuk mendapatkan legitimasi bagi Presiden Soeharto dan hasil pemilu-pemilunya sudah diperkirakan dan/atau ditentukan sebelum pemilu itu dilaksanakan. Deparpolisasi dan depolitisasi pada era ini juga sangat masif.

Pada Pemilu 1999, PDI-P jadi pemenang pertama dengan jumlah suara 33,74% (153 kursi), sementara pada Pemilu 2004 turun menjadi 18,53% (109 kursi), pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 14,03% (95 kursi), dan meningkat cukup signifikan pada Pemilu 2014 menjadi 18,95% suara (109 kursi). Apabila kita merujuk hasil Pemilu 1955, seharusnya angka persentase perolehan suara PDI-P pada setiap pemilu di era reformasi adalah 27 persen, yaitu penjumlahan dari perolehan suara PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Perolehan suara berkurang karena tumbuhnya partai-partai nasional dan partai-partai Islam baru. Ini berarti dinamika, kompetisi, dan kontestasi politik semakin tajam.

Selama 10 tahun (2004-2014), PDI-P melakukan puasa politik dengan menjadi partai penyeimbang di luar kabinet. Hasilnya cukup signifikan, yaitu terpilihnya capres PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014. Selain itu, paling tidak ada lima gubernur yang 100 persen dinominasi PDI-P, yaitu Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Lima provinsi lainnya yang didukung PDI-P bersama partai lain adalah Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, belum lagi ratusan bupati/wali kota yang didukung PDI-P.

Suksesi kepemimpinan

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com