Selama hampir 1,5 jam, Susi bertutur soal laut, bahari, dan tsunami, dari rencana semula Susi hanya akan berbicara selama setengah jam karena kepadatan agendanya.
Susi bertutur, kabar soal tsunami yang menghantam kampung halamannya itu dia terima selepas ashar. "Saya ditelepon nelayan, 'Ibu, saya dikejar air, air tinggi hitam'," kenang dia. "Ah kamu becanda, jawab saya. 'Iya, ini dikejar air, Bu.' Lalu blup, blup, telepon mati."
Tak berselang lama, lanjut Susi, Hatta Rajasa, yang waktu itu adalah Menteri Perhubungan, meneleponnya, bertanya dia ada di mana seraya mengabarkan ada tsunami di Pangandaran.
Saat itu juga, Susi meminta Hatta memberikan izin bagi pesawatnya untuk lepas landas dari Palembang atau Padang selepas pukul 20.00 WIB. "Karena bandara itu tutup pukul 19.00 WIB," kata dia.
Ada satu persoalan lagi, ujar Susi. Pesawatnya tak bisa mendarat di Pangandaran sebelum matahari terbit.
"Saya telepon KSAL, minta bantuan bagaimana caranya agar bisa ada cahaya di lokasi pendaratan di Pangandaran. Saya katakan, saya tidak bisa duduk-duduk (transit) di Jakarta hanya untuk menunggu matahari terbit di Pangandaran."
Dengan dua "telepon darurat" itu, Susi pun lepas landas dari Palembang selewat pukul 21.00 WIB, dan tiba di Pangandaran pada pukul 03.00 WIB, 12 jam dari tsunami Pangandaran.
Berbekal pengalamannya saat "tak sengaja" turun tangan membantu tsunami Aceh, dia siapkan makanan dan peralatan penanganan jenazah para korban tsunami. "Sampai sekarang saya tak ingat bagaimana saya lakukan semuanya. Refleks, dari pengalaman di Aceh."
Tempat penyimpanan ikan perusahaannya adalah salah satu peralatan yang "beralih fungsi" untuk menyimpan jenazah para korban. "Alhamdulillah, dari 1.600-an jenazah, hanya 125 yang tak bisa diidentifikasi karenanya."
Sebuah masjid yang baru rampung dibangun Susi, hanya sebulan sebelum tsunami, menjadi salah satu tempat pengungsian yang dituju warga Pangandaran.
Kebijakan harus punya keberpihakan
Sesudah bencana ini terjadi, Susi mengatakan, banyak warga Pangandaran yang datang kepadanya dan mengatakan, "Kalau saja saya dengar omongan ibu dua bulan lalu, saya tidak akan kehilangan anak (dan) warung."
Menurut Susi, sepulang dari aktivitasnya membantu penanganan tsunami Aceh, dia berulang kali meminta warga Pangandaran untuk memindahkan warung mereka yang berada tepat di bibir pantai.
"Saya ingatkan, jangan bangun di situ, agak jauh sedikit. (Di sini) bisa jadi kuburan massal kalau ombak datang, saya lihat itu di Aceh. Namun, bagaimana ya, masyarakat tidak bisa dilarang...."
Menurut Susi, tsunami sejatinya mengajarkan banyak hal bagi orang-orang yang mau mencermatinya, dari empati sampai dengan antisipasinya.
Susi bertutur banyak soal laut dan tsunami ini, sebelum menyuarakan visi dan misi kerjanya pada pemerintahan sekarang. Dari semua kisah yang dia alami sepanjang hidupnya, termasuk dua tsunami, Susi menyatakan bahwa kebijakan pemerintah harus memiliki keberpihakan yang jelas pada kepentingan bangsa dan negara.
"Policy harus ada keberpihakan. Yang komplain, silakan saja. Namun, policy memang tak akan bahagiakan 100 persen para stakeholder," ujar Susi tentang sederet kebijakan yang dia kebut dalam dua bulan masa jabatannya.
Ketika dipanggil untuk menjadi menteri, satu hal yang Susi sampaikan kepada Presiden Joko Widodo adalah, bila dia ditugaskan untuk membuat perubahan, maka tindakannya tak akan membuat semua orang senang.
"Ketika semua bilang oke, saya terima pekerjaan ini," ujar Susi lugas. "Sumpah" Susi saat meradang di tengah penanganan tsunami Pangandaran mendapat kesempatan untuk pembuktian. Semoga....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.