Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikan pencabutan hak untuk dipilih sebagai model untuk tuntutan pidana tambahan terhadap pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang didakwa melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih ini mencegah pejabat publik yang melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang mengulangi penyalahgunaan jabatan setelah menjalani pidana.
”KPK akan menjadikan tuntutan tambahan hukuman ini sebagai standar untuk mencegah agar jangan sampai mantan pejabat publik yang melakukan korupsi mengulangi penyalahgunaan jabatan barunya,” ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, di Jakarta, kemarin.
Busyro berpendapat, putusan kasasi MA yang menghukum Luthfi Hasan Ishaaq dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publiknya pada masa depan layak menjadi pedoman semua hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
”Karena sistemis dan strukturalnya korupsi politik ini sehingga atas nama moralitas keadilan, seyogianya hakim pengadilan tindak pidana korupsi menjadikan putusan MA terhadap Luthfi sebagai pedoman moral vonis hakim,” katanya.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, pencabutan hak dipilih sebagai pejabat publik merupakan istilah yang benar secara konstitusi. Dia menyebutkan, kini terjadi penyimpangan pemahaman karena makna yang keliru dan tidak utuh dari istilah pejabat publik.
”Setiap penyelenggara negara, termasuk pejabat negara di eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga negara lain, adalah mereka yang mendapat kewenangan publik untuk menjalankan tugas dan kewajibannya serta mewujudkan hak-hak fundamental rakyat seperti ada dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain,” katanya.
Jadi, jika pejabat publik ini kelak terbukti tidak amanah karena melakukan korupsi dan pencucian uang, ujar Bambang, mereka tak hanya dihukum dengan pidana pokok berupa penjara dan denda material.
Peneliti senior Indonesia Legal Roundtable, yang juga kandidat doktor di bidang sosiologi hukum, Asep Rahmat Fajar, menilai keberadaan Hakim Agung Artidjo Alkostar ibarat setitik air di padang pasir.
”Beberapa putusan Artidjo itu menjadi air di gurun pasir bagi para pencari keadilan. Di tengah ketakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan karena banyak putusan yang tidak menjawab harapan masyarakat, keluarlah putusan yang oleh publik dinilai senapas dengan rasa keadilan. Akhirnya, citra MA pun ikut terbawa. Orang menjadi yakin bahwa masih ada harapan di MA,” ujar Asep, Rabu. (ANA/BIL)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.