Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Artidjo: Korupsi, Kanker yang Gerogoti Negara

Kompas.com - 19/09/2014, 06:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Korupsi ibarat penyakit kanker yang menggerogoti tubuh negara dan membawa Indonesia ke masa depan yang suram. Berdasarkan asumsi itu, kejahatan koruptor adalah perampasan hak asasi manusia, dalam hal ini hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera.

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar mengungkapkan hal itu ketika diwawancarai Kompas seputar alasannya yang selalu menjatuhkan hukuman maksimal kepada para terdakwa korupsi.

”Korupsi itu kejahatan kemanusiaan yang dampaknya multi effect. Berdampak negatif kepada tubuh negara. Negara menjadi tidak sehat lagi. Koruptor itu juga merampas hak asasi manusia, khususnya hak-hak rakyat untuk sejahtera,” ujarnya.

Sejumlah putusan Artidjo mengundang apresiasi publik. Terakhir, Artidjo memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. Sebelumnya, ia memperberat hukuman politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, dan sejumlah terdakwa lain.

Ia menambahkan, ”Rakyat Indonesia berhak untuk melihat masa depan lebih baik. Koruptor ini membuat masa depan bangsa suram. Kita harus mencerahkan masa depan bangsa ini. Tidak ada toleransi bagi koruptor. Zero tolerance bagi koruptor.”

Tak hanya menjatuhkan hukuman maksimal. Artidjo dalam beberapa putusannya juga memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik. Putusan semacam ini telah dijatuhkan terhadap Luthfi dan juga kepada Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri. Dalam kasus Djoko Susilo, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta-lah yang menginisiasi penjatuhan hukuman pencabutan hak politik. Putusan tersebut dikuatkan di tingkat kasasi.

Saat ditanya alasan menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik, Artidjo menyatakan, hal tersebut merupakan konsekuensi etis dan yuridis dari posisi Luthfi yang memiliki kekuasaan politis. Luthfi telah menjadikan kekuasaan itu sebagai alat untuk berhubungan transaksional demi imbalan fee.

”Rakyat ini, kan, menjadi tidak enak melihatnya (Luthfi). Tidak baik. Padahal, dia itu dipilih menjadi wakil rakyat. Namun, malah korupsi yang (berdampak) kepada rakyat. Korbannya rakyat,” ujarnya.

Menurut dia, korupsi oleh politisi sudah sistemik. Di dalam sistem politik Indonesia, siapa yang banyak uang, dialah yang terpilih menjadi anggota DPR. Artinya, untuk terjun ke dunia politik atau menjadi anggota DPR, seseorang harus mengeluarkan banyak uang. Biaya politik yang tinggi berkonsekuensi hubungan transaksional.

”Itu sudah menjadi sistem di negara kita. Seharusnya itu tidak menjadi sistem. Pilih yang terbaik dan jujur. Tanpa faktor banyaknya uang,” ujarnya.

Menurut Artidjo, kondisi korupsi yang sistemis itu sungguh memprihatinkan. Meski demikian, ia meminta semua pihak tetap optimistis. Indonesia sebagai negara yang besar telah bergerak ke arah positif. Demokrasi di negeri ini termasuk unggul dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. ”Sekarang tinggal tugas kita bersama menghilangkan kanker di tubuh negara ini,” katanya.

Meskipun dirinya dan sejumlah hakim agung sering menjatuhkan hukuman maksimal bagi koruptor, lanjut Artidjo, pihaknya tak bisa meminta ataupun memaksa hakim-hakim lain (termasuk hakim di bawahnya) untuk mengikuti. Hakim punya kebebasan yang dilindungi dan tidak bisa dintervensi siapa pun.

”Hakim itu posisinya primus interpares. Dia adalah yang dituakan di antara sesamanya. Maka, di pengadilan, sebutannya adalah ketua dan bukan kepala. Itu ada artinya, yaitu dari atas tidak bisa memberikan instruksi (terkait perkara),” ujarnya.

Namun, ia menambahkan, hakim akan mengikuti putusan-putusan yang memiliki legal reasoning yang baik. Hal itu terjadi secara otomatis. ”Dan, publiklah yang menilai,” kata Artidjo.

Menjadi model

Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikan pencabutan hak untuk dipilih sebagai model untuk tuntutan pidana tambahan terhadap pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang didakwa melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih ini mencegah pejabat publik yang melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang mengulangi penyalahgunaan jabatan setelah menjalani pidana.

”KPK akan menjadikan tuntutan tambahan hukuman ini sebagai standar untuk mencegah agar jangan sampai mantan pejabat publik yang melakukan korupsi mengulangi penyalahgunaan jabatan barunya,” ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, di Jakarta, kemarin.

Busyro berpendapat, putusan kasasi MA yang menghukum Luthfi Hasan Ishaaq dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publiknya pada masa depan layak menjadi pedoman semua hakim pengadilan tindak pidana korupsi.

”Karena sistemis dan strukturalnya korupsi politik ini sehingga atas nama moralitas keadilan, seyogianya hakim pengadilan tindak pidana korupsi menjadikan putusan MA terhadap Luthfi sebagai pedoman moral vonis hakim,” katanya.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, pencabutan hak dipilih sebagai pejabat publik merupakan istilah yang benar secara konstitusi. Dia menyebutkan, kini terjadi penyimpangan pemahaman karena makna yang keliru dan tidak utuh dari istilah pejabat publik.

”Setiap penyelenggara negara, termasuk pejabat negara di eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga negara lain, adalah mereka yang mendapat kewenangan publik untuk menjalankan tugas dan kewajibannya serta mewujudkan hak-hak fundamental rakyat seperti ada dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain,” katanya.

Jadi, jika pejabat publik ini kelak terbukti tidak amanah karena melakukan korupsi dan pencucian uang, ujar Bambang, mereka tak hanya dihukum dengan pidana pokok berupa penjara dan denda material.

Peneliti senior Indonesia Legal Roundtable, yang juga kandidat doktor di bidang sosiologi hukum, Asep Rahmat Fajar, menilai keberadaan Hakim Agung Artidjo Alkostar ibarat setitik air di padang pasir.

”Beberapa putusan Artidjo itu menjadi air di gurun pasir bagi para pencari keadilan. Di tengah ketakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan karena banyak putusan yang tidak menjawab harapan masyarakat, keluarlah putusan yang oleh publik dinilai senapas dengan rasa keadilan. Akhirnya, citra MA pun ikut terbawa. Orang menjadi yakin bahwa masih ada harapan di MA,” ujar Asep, Rabu. (ANA/BIL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com