Sudah saya katakan di awal surat ini, saya tidak pandai melucu. Jika kisah yang sering membuat ibu saya tertawa sambil menangis tersebut gagal membuat Pak Prabowo tersenyum, setidaknya berpikirlah kenapa ibu saya harus menangis ketika menceritakannya.
Ibu saya dulu kader Partai Golkar. Saya ingat, dia punya semacam kartu anggota yang sering dia pajang di lemari kaca di ruang tengah rumah kami sepeninggal kakek dan ayah saya. Saya pernah bertanya kenapa dia memilih Partai Golkar, padahal dia bukan pegawai negeri. Dia menjawab singkat: saya takut.
Sekarang, ibu saya seorang kader PKS. Tapi, katanya melalui telepon, dia tidak memilih Pak Prabowo. Saya tanya kenapa. Jawabannya: saya tidak mau kembali hidup dipenuhi ketakutan.
Saya yakin Pak Prabowo paham betul kenapa ketakutan-ketakutan ibu saya muncul. Tentu saja, Pak Prabowo juga tahu bahwa ada banyak orang yang memiliki ketakutan seperti yang hidup dalam diri ibu saya.
Sekali lagi, jika Pak Prabowo tidak bisa tersenyum karena kisah lucu masa kecil saya di atas, setidaknya berpikirlah perihal ketakutan orang-orang seperti ibu saya. Pula nyaris semua kawan saya ketika bercerita perihal Pak Prabowo hanya ketakutan-ketakutan yang keluar dari diri mereka.
Sungguh, saya khawatir, ketakutan-ketakutan mereka itu kelak membuat Pak Prabowo betul-betul susah tersenyum—bahkan ketika mendengar lelucon paling lucu.
Saya kira Pak Prabowo jauh lebih paham daripada saya mengenai apa yang sebaiknya Bapak lakukan untuk membuat negeri ini lebih baik.
Salam hormat,"
Sebagian isi surat tersebut telah dihapus redaksi.