JAKARTA, KOMPAS.com — Penyair asal Makassar, M Aan Mansyur, ikut menuliskan surat untuk calon presiden Prabowo Subianto. Dalam suratnya yang diunggah di http://suratuntukpakbowo.tumblr.com/, penyair yang karyanya kerap terbit di media nasional ini membagi cerita “lucu”-nya dan tentang ketakutan ibunya.
Seperti apa ceritanya?
"Bapak Prabowo Subianto yang saya hormati,
Di tengah seluruh keriuhan pesta demokrasi yang menyita banyak perhatian dan pikiran saat ini, saya kira hal yang paling Pak Prabowo butuhkan adalah lelucon. Pak Prabowo butuh sesuatu yang bisa membuat tertawa, bukan kritikan dan makian seperti yang sekarang bertebaran di Internet. Jangankan tertawa, tampaknya Pak Prabowo bahkan tidak pernah tersenyum di depan kamera para wartawan. Hal tersebut membuat saya kerap tersenyum sendiri—dan kadang-kadang sedih—mengetahui ada seorang pria gagah tidak mampu tersenyum di pusat pesta yang meriah.
Sejujurnya, saya tidak pandai melucu. Selera humor saya, menurut teman-teman saya, sedikit aneh. Namun, ada banyak kisah dari masa kecil saya yang cukup lucu—setidaknya, menurut ibu saya. Saya akan menceritakan kepada Pak Prabowo kisah lucu favorit ibu saya. Kisah ini paling sering dia ceritakan di meja makan dan membuatnya tertawa sambil menangis. Saya berharap kisah ini bisa membuat Pak Prabowo tersenyum, jika tidak bisa tertawa seperti ibu saya.
Saat saya berusia 6 tahun, ada bendungan besar dibangun tidak jauh dari tempat saya lahir di pedalaman Sulawesi Selatan. Bendungan itu terletak di Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone. Tepatnya, di Sanrego.
Selama Bendungan Sanrego dibangun, banyak orang baru—mungkin orang-orang kota—lewat di depan rumah kami. Beberapa di antara mereka mengenakan seragam tentara. Karena kehadiran tentara-tentara itulah para penduduk akhirnya terpaksa merelakan sawah-sawah mereka jadi jalanan dan saluran irigasi, kata ibu saya bertahun-tahun kemudian.
Selain orang-orang baru, di depan rumah kami juga banyak melintas truk, bulldozer, excavator, dan mobil-mobil Hardtop. Setiap hari.
Ada cerita menarik mengenai mobil-mobil Hardtop itu. Orang-orang di kampung saya percaya mobil-mobil itu ke mana-mana berisi orang jahat yang senang memenggal dan mengambil kepala anak kecil. Konon, kepala-kepala itu akan ditanam di tanggul bendungan agar tidak mudah jebol. Teman-teman saya, tentu saja, ketakutan setiap kali melihat mobil Hardtop.
Tetapi, saya tidak takut kepada mobil-mobil Hardtop itu. Saya lebih takut kepada bulldozer. Sungguh-sungguh takut. Jika ada bulldozer lewat, saya berlari secepat mungkin ke hutan di belakang rumah saya untuk sembunyi. Di sana, di tengah hutan, saya menangis ketakutan. Tidak jarang saya mengencingi celana sendiri. Beberapa kali, ibu saya menemukan saya pingsan karena ketakutan melihat bulldozer.
Pak Prabowo pasti bisa membayangkan seberapa besar ketakutan saya.
Cerita mengenai saya yang takut bulldozer, tentu saja, dengan mudah menyebar ke mana-mana, termasuk ke sekolah, dan menjadi lelucon semua orang. Banyak orang tidak tahu nama saya, tetapi mereka tahu bahwa saya adalah Si Anak yang Takut Bulldozer.
Lelucon itu tidak mati saat saya tamat Sekolah Dasar—sebagaimana ketakutan saya kepada bulldozer. Ketika duduk di bangku SMA, saya pernah berkelahi dengan seorang teman yang menceritakan aib tersebut kepada seorang gadis yang saya taksir. Dia menyebut saya lelaki pengecut, bahkan kepada bulldozer takut.
Beberapa tahun lalu, saya berpikir anggapan kawan saya itu ada betulnya. Saya menuliskan satu sajak sederhana perihal ketakutan saya kepada bulldozerdan kepengecutan saya. Jika Pak Prabowo punya waktu, sajak itu bisa dibaca di sini.
Bapak Prabowo yang baik,
Sudah saya katakan di awal surat ini, saya tidak pandai melucu. Jika kisah yang sering membuat ibu saya tertawa sambil menangis tersebut gagal membuat Pak Prabowo tersenyum, setidaknya berpikirlah kenapa ibu saya harus menangis ketika menceritakannya.
Ibu saya dulu kader Partai Golkar. Saya ingat, dia punya semacam kartu anggota yang sering dia pajang di lemari kaca di ruang tengah rumah kami sepeninggal kakek dan ayah saya. Saya pernah bertanya kenapa dia memilih Partai Golkar, padahal dia bukan pegawai negeri. Dia menjawab singkat: saya takut.
Sekarang, ibu saya seorang kader PKS. Tapi, katanya melalui telepon, dia tidak memilih Pak Prabowo. Saya tanya kenapa. Jawabannya: saya tidak mau kembali hidup dipenuhi ketakutan.
Saya yakin Pak Prabowo paham betul kenapa ketakutan-ketakutan ibu saya muncul. Tentu saja, Pak Prabowo juga tahu bahwa ada banyak orang yang memiliki ketakutan seperti yang hidup dalam diri ibu saya.
Sekali lagi, jika Pak Prabowo tidak bisa tersenyum karena kisah lucu masa kecil saya di atas, setidaknya berpikirlah perihal ketakutan orang-orang seperti ibu saya. Pula nyaris semua kawan saya ketika bercerita perihal Pak Prabowo hanya ketakutan-ketakutan yang keluar dari diri mereka.
Sungguh, saya khawatir, ketakutan-ketakutan mereka itu kelak membuat Pak Prabowo betul-betul susah tersenyum—bahkan ketika mendengar lelucon paling lucu.
Saya kira Pak Prabowo jauh lebih paham daripada saya mengenai apa yang sebaiknya Bapak lakukan untuk membuat negeri ini lebih baik.
Salam hormat,"
Sebagian isi surat tersebut telah dihapus redaksi.