Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kedaulatan Rakyat Bukan Sekadar Angka

Kompas.com - 15/07/2014, 15:27 WIB


KOMPAS.com
- Trajektori dinamika politik Indonesia pasca reformasi mengalami tingkat pendangkalan yang pesat sehingga demokrasi yang maknanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan otentik cukup diganti dengan sederet angka. Oleh sebab itu, medan politik sesak dengan politisi yang memburu jumlah perolehan suara dengan segala cara. Kedaulatan rakyat ditukar dengan kertas berangka (mata uang), bukan karya nyata dari sebuah gagasan atau cita-cita. Mereka para pemuja angka, menganggap angka sebagai barang keramat yang dapat mengubah kehidupan mereka secara tiba-tiba menjadi bergelimang harta dan kuasa. Semakin besar angka yang diperoleh semakin besar kekuasaannya.

Dalam persaingan yang sengit didorong oleh semangat dan praktik transaksi kepentingan, pertarungan politik yang seharusnya beradab menjadi persaingan merebut perolehan angka dengan saling membinasakan. Lawan politik yang seharusnya menjadi partner dalam memilih kebijakan paling baik bagi kemaslahatan rakyat dianggap sebagai musuh yang harus dilibas.

Ideologi pragmatisme yang berlebihan serta mengagungkan dan memuliakan materi bermuara kepada tindakan merayakan kedangkalan. Fenomena yang oleh Frank Furedi (2006) dalam bukunya, Where Have All the Intellectuals Gone?: Confronting 21st Century Philistinism, disebut philistinism: perilaku, kebiasaan, atau watak yang cenderung merendahkan etika dan budaya, anti intelektual, mengabaikan keindahan dan estetika, pongah, tetapi berwawasan sempit. Dalam perspektif ini angka lebih mulia daripada manusia. Kedaulatan rakyat seakan lumpuh oleh kedaulatan uang (Khrematokrasi, Setya Wibowo, A; Basis, nomor 05-06, 2014). Membiarkan pemuliaan kedangkalan berarti menyediakan jalan lapang menuju negara otoritarian atau anarki sosial.

Ekspektasi pemilih dapat ditelusuri melalui perdebatan tentang studi perilaku memilih (voting behaviour). Terdapat tiga mazhab berbeda. Pertama, aliran sosiologi, biasa disebut paham Columbia; kedua, mazhab psikologi, biasa disebut aliran Michigan; dan ketiga, teori pilihan rasional (rational choice theory). Oleh sebab itu, alasan memilih sangat beragam: sentimen, persepsi, kalkulasi rasional, intuisi, dan lain-lain. Namun, perbedaan tersebut disatukan oleh satu variabel yang sangat fundamental: harapan pemilih adalah memperoleh kehidupan lebih baik.

Dalam Pilpres 2014, dari 12 pollster yang melakukan hitung cepat, delapan lembaga menghasilkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang; empat yang lain hasilnya Prabowo-Hatta unggul. Persaingan sengit yang dipicu oleh retorika, demagogi, dan agitasi politik dikhawatirkan dapat memproduksi pembela fanatik dan akan memicu konflik di tingkat akar rumput. Sangat disayangkan perdebatan tersebut hanya terbatas pada metodologi dan sumber dana; tidak menyentuh persoalan yang sangat mendasar bahwa di balik angka-angka tersebut, termasuk hasil hitungan suara yang akan diumumkan oleh KPU tanggal 22 Juli 2014, memuat harapan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia untuk segera dapat menikmati hidup sejahtera. Tidak sedikit pemilih yang harus berjalan kaki berkilometer atau medan yang sangat sulit untuk menyampaikan harapan dengan memilih pasangan capres-cawapres pilihannya. Harapan dari pemegang tertinggi kedaulatan.

Pada Pilpres 2014 rakyat harus menjadi pemenang sesungguhnya, siapa pun pasangan capres-cawapres yang memperoleh suara terbanyak. Oleh sebab itu, pilpres bukan pertarungan hidup atau mati untuk merebut kedudukan politik. Maka, pertarungan hancur-hancuran, tiji tibeh (mati siji mati kabeh atau mati satu mati semua), harus disingkirkan jauh-jauh dari niat dan pikiran. Untuk itu, kedua kubu jangan "girang-girang gumuyu", mengumbar kegembiraan yang belum pasti terjadi. Sebaiknya, berjiwa kesatria dan mempersiapkan diri menerima dengan ikhlas putusan rakyat.

Bagi pasangan capres-cawapres yang menang, harus selalu ingat bahwa rakyat bukan hanya memerlukan presiden. Rakyat mendambakan pemimpin yang dengan karya nyata dapat menggugah nurani, bukan emosi, seluruh komponen bangsa untuk bangkit dan melakukan perubahan. Selain itu, rakyat juga memerlukan pemimpin yang mempunyai semangat petarung yang pantang menyerah memadamkan orgy korupsi yang telah merusak saraf tubuh negara sehingga eksistensi negara nyaris tiada. Indonesia memerlukan pemimpin yang memanusiakan manusia, bukan menjadikan insan manusia sekadar agregat angka; serta melaksanakan mandat kekuasaan dari rakyat dengan adil, melayani, bijak bestari, dan legawa demi kemaslahatan rakyat. Harapan sangat besar dilimpahkan kepada pasangan capres-cawapres yang akan memenangi kompetisi. Tidak berlebihan kalau para pelaku yang memanipulasi data pilpres adalah pelaku kejahatan luar biasa.

Bulan Ramadhan yang suci dan penuh berkah ini merupakan kesempatan sangat baik untuk melakukan ijtihad, terutama berkenaan dengan menata hidup bersama melalui proses kompetisi politik agar menghasilkan pemegang kekuasaan yang amanah. Rivalitas politik adalah bagian dari mengukir peradaban kekuasaan yang memuliakan dan mendahulukan kepentingan rakyat. Kalah atau menang harus dikembalikan kepada pemilik kedaulatan, yaitu rakyat. Kalau setiap kompetisi politik selalu menuju pada kemenangan rakyat, kualitas kehidupan politik dapat dipastikan semakin menyuburkan budaya politik yang beradab. (J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com