Ketiga, berbanding dengan utang baru di atas, pembayaran cicilan utang kita yang berkisar Rp 240 triliun-Rp 270 triliun terasa sangat minor. Belum lagi jika diperhatikan komposisinya di mana nilai cicilan itu berbagi hampir rata antara bunga dan pokoknya. Karena itu, jika pembayaran pokok utang rata-rata sekitar Rp 125 triliun per tahun dengan posisi utang terakhir di atas, rakyat negara ini harus menunggu sekitar 20 tahun untuk melunasi utangnya. Namun, jika dilihat dari tambahan utang setiap tahun, bukan saja seumur hidup kita harus membayar cicilan, melainkan nilai cicilannya juga terus membengkak.
Walau data di atas cukup menyakitkan, mungkin terasa sedikit menghibur apabila fakta itu memberikan implikasi pada kesejahteraan rakyat. Namun, ternyata tidak. Angka-angka itu secara nyata hanya memberikan tambahan kekayaan yang melipatkan harta elite lokal sebagaimana counterparts-nya di tingkat global. Hal itu terlihat dalam rasio gini yang meningkat drastis dalam dasawarsa terakhir dari sekitar 3 hingga mencapai 4,3, belakangan.
Sebuah angka, yang tragisnya ternyata juga terjadi di belahan dunia lainnya, bahkan di negara-negara yang kita anggap lebih maju, kaya, dan sejahtera. Tetangga kita, Australia, misalnya, memiliki rasio gini 4,68, sementara AS mencapai 4,69 dan negara terkuat di Eropa, Jerman, justru meroket hingga 5,32. Sebuah kenyataan yang menggambarkan, sekali lagi, kapitalisme ternyata tidak hanya memperkaya segolongan kecil pemilik kapital raksasanya, tetapi juga serentak dengan itu meniscayakan bahkan mensyaratkan kemiskinan yang kian tenggelam dalam khaos peradaban.
Jawablah hai pemimpin!
Apa yang sengaja terpapar dari sekelumit fakta dunia di atas rasanya penting untuk memberikan horizon bagi siapa pun yang akan memimpin negeri ini, mengelola kebijakan, dan memproduksi regulasi bagi tujuan-tujuan luhur sebuah negeri/bangsa. Apa pun visi yang coba didiseminasi oleh para capres, misalnya, akan terasa naif jika tak menyimpan pandangan atau world view yang mengandung kesadaran akan realitas manusia saat ini. Naivitas itu akan membuat sia-sia semua program yang direncanakan, menjadikan semua janji jadi omong kosong pengantar tidur rakyat yang sudah kian sulit bermimpi. Apa yang kritikal dalam situasi di atas adalah sebuah perhitungan di mana rencana, bayangan, bahkan mimpi tentang kesejahteraan (pursuit of happiness) dari bangsa ini, tak dapat memisahkan tiga anasir utama dalam kehidupan: ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Tiga anasir itu, di luar paralelitasnya dengan Trisakti Bung Karno, memang menjadi fakta keras hari ini di mana politik dan ekonomi menjadi dua elemen juga kekuatan utama yang menentukan garis hidup bahkan masa depan generasi berikut bangsa Indonesia. Terlebih ketika dua kekuatan itu bersinergi, lebih tepat menciptakan hibrida kekuasaan yang baru, untuk berjuang mempertahankan status quo yang menjamin zona aman para elitenya dengan cara, antara lain, mengisap semua elemen kehidupan lainnya ke dalam lingkaran sentripetalnya.
Kebudayaan di sini mengambil peran, betapapun minor posisinya berhadapan dengan hibrid dua kekuatan di atas, untuk menjadi otoritas tunggal dalam penciptaan makna atau signifikansi nilai dari semua atribut dan produk-produk dari kekuasaan atau elemen-elemen lain yang terisap di dalamnya. Tanpa kebudayaan, saya kira, pemerintah mana pun hanya akan menyelebrasi kemenangan materi yang kering dan hampa. Sebab, pada saat bersamaan ia menaklukkan bahkan melumpuhkan jiwa atau spiritualitas yang membuat materi itu menjadi makna dalam kenyataan hidup kita.
Sayang, sekali lagi sayangnya, kita belum dapat menangkap muatan visioner dengan horizon atau world view berbasis realitas dunia di atas dalam hampir semua program yang pernah dibicarakan para calon (eksekutif dan legislatif) kita. Cara berpikir dari para elite kita, baik secara paradigmatik maupun epistemologik, tampak sangat konservatif bahkan terbelakang hingga 30 sampai setengah abad ke belakang. Di masa Perang Dingin, bahkan pra-Perang Dunia II di mana logika pasar dan ide demokrasi masih dianggap suci dan murni, berjalan sesuai dengan hukum di atas kertasnya.
Kenyataannya, waktu berlalu, manusia tak berkembang dalam evolusi biologis, tetapi dalam revolusi pikiran dan nafsunya. Hari ini dan masa nanti telah berkembang menjadi hidup di mana sebagian manusia tidak lagi menganggap dirinya sebagai khalifah, tetapi menjadi ”tuhan” yang menentukan apa, siapa, bahkan bagaimana hidup dan matinya manusia lain. Dan Indonesia, Ibu Pertiwi, tanah di mana tumpah darah kita yang mulia, ada dalam situasi di mana ia hanya seperti baju batik lusuh yang terus diperas hingga luntur, tertinggal kain dasar putih yang seratnya pun ditarik satu per satu untuk mengikat sepatu para kriminal peradaban yang bersolek di atas kebudayaan kita.
Radhar Panca Dahana
Budayawan