Namun, karena tiruan, dan tidak berangkat dari karakter otentik, terasa sekali nuansa imitasinya: memikul karung sembako dengan aksi fotogenik atau makan bersama petani di atas daun pisang dengan mimik muka canggung.
”Business as usual”
Kita tentu masih ingat bagaimana kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG) di bursa efek langsung menguat ketika Jokowi mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden pada 14 Maret lalu.
Namun, banyak pihak ternyata panas hati dan kepala. Energi pun ditumpahkan untuk menangkis popularitas Jokowi.
Ketika Jokowi mendeklarasikan diri sebagai capres, kegembiraan bukan hanya di kalangan PDI-P. Dari Aceh hingga Papua deklarasi tim pendukung Jokowi bermunculan. Di media sosial kini muncul hashtag #JKW4P atau #JKW4President. Sebagian besar pelakunya nonpartisan: akademisi, seniman, mahasiswa, bahkan aktivis partai politik lokal di Aceh.
Pelbagai bentuk respons positif mengikuti pencalonan ”virtual” Jokowi sebagai calon presiden. Ini menunjukkan harapan menggelinding dengan deras di tingkat arus bawah dan tengah. Apalagi, jika akhirnya Jokowi benar-benar menjadi calon presiden definitif dan memenangi Pilpres 9 Juli mendatang.
Mungkin, harapan publik bisa salah ketika Jokowi tidak bisa menjadi sosok seperti yang diimajinasikan.
Tak apa, kita bisa kembali pada model politik elitis dan borjuis yang dipraktikkan sebelumnya. Kita tak kurang calon presiden yang bisa menjalankan peran politik dan pemerintahan sebagai ”praktik kebiasaan” (business as usual).
Ketika publik menganggap idealisme politiknya tak menang, keinginan melawan rasa takut itu harus tetap nyata.
Seperti dikatakan Russel, harapan harus tumbuh untuk membunuh rasa takut yang lama menindas akal sehat. Itu juga renungan kita sebagai bangsa yang selalu mendengungkan perubahan, tetapi gagal memutus sejarah masa silam.
Teuku Kemal Fasya
Antropolog Aceh