Pola ketiga adalah kolusi dengan hakim pengadilan pajak atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak agar perkara keberatan pajaknya dimenangkan. Praktik ini memperbesar peluang bagi wajib pajak untuk memenangi sengketa pajak.
Belum steril
Pejabat di lingkungan pajak sangat mungkin untuk mengabulkan keberatan pajak atau mengurangi beban wajib pajak dengan atau tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pola inilah yang diduga dilakukan oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak untuk mengabulkan keberatan pajak yang dilakukan oleh BCA.
Pada sisi lain, Pengadilan Pajak juga belum steril dari praktik korupsi. Data ICW menunjukkan, selama 2002 hingga 2009, dari 16.953 perkara keberatan pajak yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Pajak, sebanyak 13.672 berkas perkara atau sekitar 81 persen dimenangi oleh wajib pajak. Kekalahan negara di Pengadilan Pajak memberikan konsekuensi pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang harus diterima oleh negara.
Sesungguhnya sejak mencuatnya skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, Kementerian Keuangan sudah berupaya melakukan sejumlah pembenahan dan percepatan reformasi birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Gaji atau remunerasi untuk pegawai pajak bahkan sudah dinaikkan untuk mendorong perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Meski demikian, setelah pembenahan dilakukan, toh masih saja ditemukan pegawai pajak yang nekat melakukan penyimpangan.
Pada akhirnya, selain berharap perkara korupsi sektor perpajakan—termasuk yang menimpa Hadi Poernomo—dapat dituntaskan oleh penegak hukum dan KPK, ada baiknya pemerintah menjadikan peristiwa ini sebagai momentum melakukan evaluasi secara menyeluruh program antikorupsi dan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini penting agar institusi pajak tidak lagi terjebak dalam lingkaran korupsi dan sekaligus mengembalikan citranya di mata masyarakat.
Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch