Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tersandera Politik Angka

Kompas.com - 21/04/2014, 07:30 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Survei dan hasil hitung cepat belakangan menjadi bisnis yang tumbuh subur menjelang dan saat Pemilu. Keduanya menjadi penentu kebijakan dan terkadang menentukan nasib seorang calon anggota legislatif. Tak ayal, meski dibutuhkan, survei dan hitung cepat kerap menjadi momok menakutkan bagi partai dan para kadernya.

"Kita sudah terjebak dalam pendekatan kuantitatif. Seakan politik itu prosentase. Dua tambah dua sampai dengan empat. Padahal belum tentu empat kalau dalam politik," ujar Redaktur Senior Kompas Budiarto Shambazy di Jakarta, Minggu (20/4/2014).

Jurnalis yang akrab disapa Mas Bas ini membandingkan budaya politik yang terbangun di Indonesia dengan negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat. Di negara paman Sam itu, Budiarto mengungkapkan, survei bukanlah tolak ukur utama dalam menentukan kebijakan. Survei yang dilakukan lebih kepada survei kualitatif, bukan persentase elektabilitas.

"Mereka mengambil keputusan bukan berdasar hasil survei. Kenapa? Banyak studi menelaah, dan kesimpulan utamanya bahwa hasil survei adalah hasil kuantifikasi politik. Itu tidak dipercayai warga Amerika. Mereka lebih percaya issues, telaah kualitatif," paparnya.

Budiarto menuturkan, dalam kampanye-kampanye calon presiden Amerika, terlihat jelas setiap calon memiliki karakter yang jelas, jejak rekam, gaya kepemimpinan, dan penguasaan isu yang matang. Sementara di Indonesia, dia belum melihat adanya kandidat capres yang memaparkan visi dan misinya. Yang mengemuka di media sekarang, justru saling serang untuk menggerus elektabilitas.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sidarto Danusubroto juga mengkritisi keberadaan lembaga survei yang juga konsultan politik. Dia melihat dari sejumlah survei yang ada, tidak sampai lima lembaga yang dinilainya objektif dalam memaparkan data.

"Yang lainnya, nggak jelas. Tergantung siapa yang bayar," tukas Sidarto.

Sidarto meminta agar para konsultan politik dan juga lembaga survei tak berkhianat dari pakem ilmu pengetahuan yang telah dimiliki. Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat ini menyebut konsultan politik yang tunduk pada rupiah sebagai "pelacur" intelektual.

"Menjaga kehormatan profesi untuk tidak tergelincir menjadi 'pelacur' intelektual. Konotasinya bersedia melakukan hal yang tidak dibenarkan hanya karena dibayar," ujar Sidarto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Tahan 3 Tersangka Dugaan Korupsi Penggelembungan Harga Lahan Tebu PTPN XI

KPK Tahan 3 Tersangka Dugaan Korupsi Penggelembungan Harga Lahan Tebu PTPN XI

Nasional
Selain Khofifah, PDI-P Buka Opsi Usung Kader Sendiri di Pilkada Jatim

Selain Khofifah, PDI-P Buka Opsi Usung Kader Sendiri di Pilkada Jatim

Nasional
DPR dan Pemerintah Diam-diam Rapat Pleno, Revisi UU MK Tinggal Dibawa Ke Paripurna

DPR dan Pemerintah Diam-diam Rapat Pleno, Revisi UU MK Tinggal Dibawa Ke Paripurna

Nasional
Ungkap Sulitnya Jaga Harga Beras, Jokowi: Bikin Ibu-ibu dan Petani Senang Tidak Mudah

Ungkap Sulitnya Jaga Harga Beras, Jokowi: Bikin Ibu-ibu dan Petani Senang Tidak Mudah

Nasional
Program 'DD Farm' Bantu Hidup Meltriadi, dari Mustahik Jadi Peternak

Program "DD Farm" Bantu Hidup Meltriadi, dari Mustahik Jadi Peternak

Nasional
Formappi Soroti Kinerja DPR, Baru Sahkan UU DKJ dari 47 RUU Prioritas di 2024

Formappi Soroti Kinerja DPR, Baru Sahkan UU DKJ dari 47 RUU Prioritas di 2024

Nasional
Penayangan Ekslusif Jurnalistik Investigasi Dilarang dalam Draf RUU Penyiaran

Penayangan Ekslusif Jurnalistik Investigasi Dilarang dalam Draf RUU Penyiaran

Nasional
Jokowi Resmikan 22 Ruas Jalan Daerah di Sultra, Gelontorkan Anggaran Rp 631 Miliar

Jokowi Resmikan 22 Ruas Jalan Daerah di Sultra, Gelontorkan Anggaran Rp 631 Miliar

Nasional
Gerindra: Jangan Harap Kekuasaan Prabowo Jadi Bunker Buat Mereka yang Mau Berbuat Buruk

Gerindra: Jangan Harap Kekuasaan Prabowo Jadi Bunker Buat Mereka yang Mau Berbuat Buruk

Nasional
Ogah Jawab Wartawan Soal Kasus TPPU, Windy Idol: Nyanyi Saja Boleh Enggak?

Ogah Jawab Wartawan Soal Kasus TPPU, Windy Idol: Nyanyi Saja Boleh Enggak?

Nasional
Prabowo Janji Rekam Jejak di Militer Tak Jadi Hambatan saat Memerintah

Prabowo Janji Rekam Jejak di Militer Tak Jadi Hambatan saat Memerintah

Nasional
Laksma TNI Effendy Maruapey Dilantik Jadi Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung

Laksma TNI Effendy Maruapey Dilantik Jadi Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung

Nasional
Prabowo Klaim Bakal Tepati Janji Kampanye dan Tak Risau Dikritik

Prabowo Klaim Bakal Tepati Janji Kampanye dan Tak Risau Dikritik

Nasional
Pengacara Gus Muhdlor Sebut Akan Kembali Ajukan Gugatan Praperadilan Usai Mencabut

Pengacara Gus Muhdlor Sebut Akan Kembali Ajukan Gugatan Praperadilan Usai Mencabut

Nasional
Prabowo Akui Demokrasi Indonesia Melelahkan tetapi Diinginkan Rakyat

Prabowo Akui Demokrasi Indonesia Melelahkan tetapi Diinginkan Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com