Hal ini pun diakui Anas dalam bagian prakata. Buku Anas kali ini adalah kumpulan esai dari tahun 2010-2013. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menyadari, jenis buku seperti ini kerap mendapat kritik dan diledek. Namun, dia mengaku kritik itu akan menjadi vitamin baginya untuk membuat sebuah buku yang utuh mengenai demokrasi dan politik di Indonesia. Buku dengan tebal 210 halaman ini dibagi ke dalam tiga bagian, yakni "Kebangsaan Kita", "Politik dan Demokrasi", dan "Kesalehan Sosial".
Saat membahas soal kebangsaan, Anas menganalogikan aktivitas itu mirip sekelompok pendaki gunung yang bertekad bersama-sama mencapai puncak tujuan, berteduh bersama ketika hujan badai menerpa, saling menolong ketika ada yang sakit.
"Analogi mendaki gunung ini sangat relevan karena kita tidak bisa serta-merta putar haluan dan pulang sendiri-sendiri ketika lelah melanda," tulis Anas.
Bangsa Indonesia, sebut Anas, telah jauh meninggalkan kaki gunung sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. "Kita harus terus mendaki smapai ke puncak," kata Anas.
Anas pun mengutip sebuah fenomena lukisan bergamban Presiden kedua RI Soeharto di belakang bak truk di jalan Pantura dengan kata-kata, "Isih enak jamanku tho?" (lebih enak pada saat zaman saya, kan?).
Menurutnya, gambar ini hanya boleh menjadi lelucon satir, dan bukannya sebagai pembenaran untuk menyerah dan memutar ke belakang jarum jam sejarah.
Potret Bangsa
Membicarakan soal kebangsaan tak luput dari realitas masyarakat Indonesia yang beragam. Hal ini yang kemudian diangkat Anas dalam berbagai esai singkatnya yang terbit di berbagai media massa. Esai "Mengobati Luka Teror" tentang peledakan bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh di Kepunton Solo diambil Anas untuk menggambar luka teror yang dialami bangsa ini.
Dia mengatakan, cara terkuat untuk menangani terorisme adalah dengan bergandengan tangan memusuhi terorisme. "Bangsa Indonesia akan menjadi lebih kuat dan mampu menyembuhkan luka-luka akibat teror. Soliditas dan solidaritas kita adalah pesan yang paling kuat bahwa Indonesia tidak akan terpecah belah oleh teror," tulis Anas.
Anas juga menyoroti soal pengakuan warga Tionghoa oleh negara dalam tulisannya yang berjudul "Imlek untuk Indonesia". Presiden ke-4 RI almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengizinkan warga merayakan Hari Raya Imlek. Sama seperti Gus Dur, Anas pun yakin kekuatan bangsa Indonesia sesungguhnya adalah keragaman itu sendiri.
Hubungan lintas etnis, suku, dan agama kembali ditulis Anas dalam "Makna Nyepi bagi Kebinekaan Kita". Anas mengaku kagum dengan pelaksanaan hari raya Nyepi bagi umat Hindu di Bali. Pada hari raya itu, umat Muslim di Pulau Dewata bahkan rela tidak mengumandangkan adzan demi menghormati pelaksanaan hari raya umat lain.
"Keberagaman kita adalah anugerah dan toleransi merupakan sebuah keniscayaan jika kita ingin menikmati nikmat dari kebinekaan itu," tulis Anas.
Tak hanya memotret soal hubungan berbangsa, Anas juga sedikit menyinggung soal perpolitikan Tanah Air, terutama yang menyangkut Partai Demokrat. Namun, pandangan Anas soal Partai Demokrat dan pemerintahan tidak sekritis sikap Anas saat ini. Pasalnya, ketika esai-esai ini ditulis, Anas masih bergabung sebagai kader Partai Demokrat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.