Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi Lima Menit

Kompas.com - 02/01/2014, 11:26 WIB

Oleh: Franz Magnis-Suseno SJ

Kritik tajam Bung Radhar Panca Dahana terhadap kelas politik yang menguasai demokrasi kita (Kompas, 12/12/2013) sulit disangkal. Bahwa elite politik memanfaatkan dengan rakus akses istimewa mereka terhadap aset-aset negara, tanpa merasa malu, amat kuat diyakini oleh masyarakat. Bahwa mereka seharusnya menjadi wakil kebersamaan kita hampir menguap.

Persepsi ini mengancam masa depan bangsa Indonesia dan karena itu perlu diekspos terus-menerus. Namun, kalau lantas demokrasi kita didegradasi seakan-akan dia tidak lebih dari ”demokrasi lima menit”, saya berhenti mengerti.

Demokrasi 51 persen

Istilah ”demokrasi lima menit” mengingatkan saya akan ejekan Bung Karno 50 tahun lalu terhadap ”demokrasi liberal” sebagai ”demokrasi 51 persen”. Katanya dalam ”demokrasi liberal” itu yang 51 persen dapat memperdaya sisa 49 persen, sedangkan—sejak kembali ke UUD 1945— kita kembali ke ”musyawarah dan mufakat” di mana semua terlibat.

Apakah demokrasi melibatkan semua atau tidak tentu tergantung dari apakah rakyat yang bersangkutan senang dengannya. Bukti kesenangan itu bukan rapat raksasa di mana semua berteriak ”setuju”, melainkan apakah rakyat senang taat pada aturan-aturan dan tanpa paksaan menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan aturan-aturan demokratis itu.

Ada dua contoh ”demokrasi liberal” yang menarik. Dalam pemilihan umum di Jerman tahun 1994, koalisi Helmut Kohl mendapat 48,3 persen semua suara. Lawannya mendapat 43,7 persen, sisanya tak berhasil masuk parlemen. Namun, meskipun Kohl bahkan mendapat kurang dari 50 persen suara, pemerintahannya diterima tanpa ada yang protes selama seluruh periode empat tahun berikut. Begitu pula di tahun 2000 George W Bush memperoleh setengah juta suara kurang (!) dari lawannya, Al Gore, tetapi karena Amerika Serikat (AS) memakai sistem distrik, maka Bush yang menjadi presiden. Hasil itu pun oleh rakyat AS diterima tanpa kesulitan apa pun.

Sebaliknya di Indonesia. Karena dalam demokrasi terpimpin kekuatan-kekuatan politik nyata dalam masyarakat tidak dapat main secara demokratis. Di Indonesia Bung Karno tahun 1959 mengakhiri demokrasi dengan akibat-akibat yang mengerikan. Karena permainan kekuatan-kekuatan demokratis sudah tak jalan, terpaksa presiden memfokuskan semuanya pada dirinya sendiri.

Akhirnya dinamika yang tak tersalurkan secara demokratis semakin tak terkendali. Terciptalah situasi yang tidak dapat lagi dikuasai Bung Karno, yang berakhir dengan kejadian-kejadian mengerikan tahun 1965 dan 1966, di mana jutaan rakyat tak bersalah dibunuh, disiksa, dihancurkan eksistensinya, dikeluarkan dari persatuan bangsa, salah satu peristiwa traumatis paling mengerikan di abad lalu.

Demokrasi lima menit

Kembali ke ”demokrasi lima menit”. Masak! Kalau saya menutup suatu pembicaraan dengan memberi tanda-tangan, pemberian tanda-tangan bisa saja hanya membutuhkan dua menit, tetapi merupakan puncak dan penutup pembicaraan yang barangkali lama dan mendalam, di mana akhirnya diambil keputusan.

Lima menit di bilik pemilu sama saja puncak dan penutup proses panjang. Pagi hari orang sudah merencanakan kapan ia akan memilih. Tetapi sekarang banyak rakyat kita sudah mempertimbangkan jauh sebelumnya ke mana suara diberikan. Tak perlu pemilihan mereka diremehkan.

Yang memang mau dikatakan Bung Radhar adalah: sesudah dipilih, para wakil rakyat (yang brengsek) selama lima tahun bebas berulah semau gue. Benarkah?

Pertama, yang hakiki dalam demokrasi bukan hanya pemilihan para wakil rakyat. Yang hakiki adalah kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Sebagaimana dianalisis oleh filsuf Jurgen Habermas, yang hakiki bagi suatu demokrasi adalah bahwa kelas politik: para pemimpin, para wakil rakyat, ”dikepung” oleh ”arena publik” (public sphere) yang terus-menerus mendiskursuskan masalah-masalah politik yang dihadapi bangsa, yang tidak dapat diabaikan. Arena publik itu adalah media cetak dan elektronik, talk show, seminar-seminar, LSM-LSM, formasi-formasi masyarakat sipil seperti konferensi para rektor, organisasi-organisasi agama, dan lain-lain. Bahwa DPR belum berani mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sekarang, tentu karena mereka dikepung oleh opini publik yang tidak akan menerimanya.

Justru public sphere itulah yang membedakan demokrasi dari kediktatoran. Tahun 1963 Presiden Soekarno membungkamkan mereka yang ”terlibat” dalam Manifesto Kebudayaan, setahun kemudian 20 koran yang tidak mendukung Nasakom. Di zaman Soeharto kritik serius apa pun tidak diizinkan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kepala BNPT Apresiasi Densus 88 yang Proaktif Tangkap Residivis Teroris di Cikampek

Kepala BNPT Apresiasi Densus 88 yang Proaktif Tangkap Residivis Teroris di Cikampek

Nasional
Pertamina Luncurkan 'Gerbang Biru Ciliwung' untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Pertamina Luncurkan "Gerbang Biru Ciliwung" untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Nasional
Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Nasional
Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Nasional
Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Nasional
Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan 'Bargain'

Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan "Bargain"

Nasional
Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Nasional
KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

Nasional
Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Nasional
Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Nasional
Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Nasional
Kontroversi Usulan Bansos untuk 'Korban' Judi Online

Kontroversi Usulan Bansos untuk "Korban" Judi Online

Nasional
Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Nasional
MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

Nasional
Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com