Dan sebaliknya di demokrasi. Bulan Mei lalu saya mengkritik dengan rada keras rencana Appeal of Conscience Foundation di New York untuk memberikan statesman award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang bagi saya sendiri paling mengesankan adalah bahwa saya kemudian tidak mengalami tekanan, ancaman, ataupun pengusiran apa pun dari pihak istana maupun pendukung politik presiden. Jadi, kebebasan menyatakan pendapat kritis betul-betul ada.
Bandingkan dengan apa yang terjadi dengan mereka yang 30 tahun lalu mengajukan sebuah petisi mengenai hal Pancasila (”Petisi 50”)! Memang, sekarang pun masih terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia—baca laporan-laporan berkala Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—tetapi pelanggaran-pelanggaran itu dapat, dan jadi, diangkat. Di bawah Soeharto terjadi seribu Kedung Ombo yang hampir semua tak bisa masuk ke ruang publik, sebaliknya sesudah beliau turun takhta, apa pun yang berbau ”Kedung Ombo” akan langsung dikecam.
Keadilan sosial tidak tercapai dengan sebuah elite memberi makan pada rakyat—pandangan feodalistik yang masih kuat muncul dalam diskusi-diskusi di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945, melainkan dengan memberdayakan rakyat. Pemberdayaan itu menjadi nyata dengan mereka dapat bebas bersuara dan berorganisasi. Nah, itulah yang disebut demokrasi.
Hak-hak asasi manusia
Ada poin kedua, kita mesti bertanya, mengapa dukungan terhadap aturan main demokratis di negara demokratis begitu kuat? Mengapa hanya para diktator dan bukan rakyat yang hidup dalam demokrasi yang mengangkat hal kediktatoran mayoritas? Karena demokrasi secara hakiki adalah negara di mana hukum dihormati, ya ”negara hukum demokratis”, dan hukum dihormati karena berdasarkan pada hak-hak asasi manusia. Demokrasi dan hak-hak asasi manusia adalah satu paket.
Karena demokrasi menjamin hak-hak asasi manusia, demokrasi menjamin juga bahwa tidak ada individu maupun kelompok masyarakat yang kepentingan-kepentingan vitalnya dapat ditindas oleh mayoritas. Dengan lain kata: karena demokrasi berdasarkan jaminan hak-hak asasi manusia, maka demokrasi menjamin bahwa minoritas politik tidak menjadi minoritas sosial, ekonomis, maupun budaya, jadi tetap utuh dalam kemanusiaan. Itulah dasar akseptasi begitu luas terhadap demokrasi dalam masyarakat-masyarakat yang betul-betul demokratis.
Hak-hak asasi manusia: masih juga kita dengar omongan, dalam hal hak-hak asasi manusia jangan ”kebablasan”. Omongan salah kaprah betul! Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bottom line masyarakat yang adil dan beradab! Hak-hak asasi manusia berarti: orang tidak lagi bisa dibunuh dengan impunity, minoritas tidak lagi dapat dijadikan tumbal bagi keuntungan yang banyak. Hak-hak asasi manusia bukan ekspresi individualisme (salah betul Supomo di situ), melainkan sebaliknya tanda dan bukti solidaritas suatu bangsa dengan saudara mereka yang lemah.
Jaminan hak-hak asasi manusia tak lain merupakan penegasan mereka yang kuat dan kuasa bahwa ”meskipun kami sebenarnya tidak perlu memperhitungkan kamu, dan kamu tidak dapat mengancam kami dan sebenarnya dapat saja kami abaikan, tetapi kami tetap mengakui dan menghormati kamu sebagai saudara dan manusia seharkat dengan kami”. Bukankah kita amat berpengalaman ke mana kita dibawa kalau hak-hak asasi manusia diabaikan? Karena itu kita jangan mengizinkan demokrasi kita—meski masih sangat lemah—dicuri atau dirusak lagi, juga tidak dengan omongan bagus-bagus.
Saya juga terganggu bahwa demokrasi dicaci maki tanpa bicara korban. Jumlah korban dalam bangsa Indonesia dalam 68 tahun terakhir luar biasa, korban bangsa sendiri. Bicara demokrasi kita harus bicara korban. Meski sekarang pun masih ada yang diperlakukan tidak manusiawi, tetapi bandingkan dong 15 tahun terakhir dengan 32 tahun yang sebelumnya!
Saya juga heran, kok demokrasi ditertawakan, tanpa dengan sepatah kata pun ditawarkan sistem kekuasaan alternatif. Kalau Anda tidak mau demokrasi, Anda mau menggantikannya dengan apa? Dengan kediktatoran militer? Dengan kekuasaan para pengemban ideologi? Dengan kekuasaan para pastor dan ulama? Adakah Soeharto yang baru? Soekarno baru? Lupakah kita akhir dua kepemimpinan itu? Kelemahan-kelemahan demokrasi memang mencolok, tetapi apa perlu dikutip lagi ucapan tak terbantah Winston Churchil bahwa ”demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling jelek, kecuali semua bentuk pemerintahan lain yang sudah dicoba sewaktu-waktu” (democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time).
Franz Magnis-Suseno SJ, Mantan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.