JAKARTA, KOMPAS.com — Patrialis Akbar diminta menghormati keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan Keppres Nomor 87/P/2013 tentang pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Jika menginginkan kursi hakim MK, Patrialis harus mengikuti proses seleksi yang transparan.
"Jika Patrialis masih ingin mengejar kursi hakim MK, maka ia harus tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku yang mensyaratkan seleksi dengan transparan dan partisipatif," ujar Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain, di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2013).
Sebelumnya, Patrialis mengatakan bahwa putusan itu dapat merugikan kepentingan bangsa karena jumlah hakim MK akan semakin berkurang. Menurut Patrialis, hal itu akan berpengaruh pada penanganan perkara di MK, terutama seusai pemungutan suara Pemilu 2014 nanti.
"Putusan PTUN merugikan bangsa kita, dan MK tidak bisa jalan karena terganggu kondisi pemilu, satu-satunya ya banding," kata Patrialis.
Atas pernyataan itu, Patrialis dinilai tidak memiliki sikap kenegarawanan karena mempertimbangkan banding atas putusan PTUN. Jika banding, menurut Bahrain, penilaian masyarakat terhadap Patrialis akan semakin negatif.
"Jika Patrialis tidak menaati putusan PTUN dan keras kepala mempertahankan kursi hakim konstitusi, maka wajar saja jika publik menilai Patrialis tidak memiliki sikap kenegarawanan," kata Bahrain.
Seperti diketahui, PTUN mengabulkan gugatan Koalisi Mayarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi, yaitu membatalkan Keppres Nomor 87/P/2013 tentang pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim Mahkamah Konstitusi. Pengangkatan Patrialis dinilai cacat hukum.
Padahal, aturan tentang MK Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan, pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif dan harus dipublikasikan kepada masyarakat. Keppres itu dinilai melanggar UU MK Pasal 15, Pasal 19, dan Pasal 20 (2) soal integritas calon sebagai negarawan yang menguasai konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.