Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran dari Tuan Takur ...

Kompas.com - 16/11/2013, 10:04 WIB

 


KOMPAS.com
- Kasus
demi kasus korupsi terungkap. Seperti lembaran tisu di dalam kotak, begitu dicabut, keluar tisu berikutnya.

Begitu seterusnya, seolah tak ada habisnya. Suap-menyuap menjadi salah satu modus yang tengah nge-tren, menjangkiti perilaku koruptif. Masyarakat yang selama ini hanya nguping kini sudah tak lagi asing dengan desas-desus bahwa ada yang tak beres di lingkungan departemen atau kementerian. Tampaknya, pembenahan birokrasi sekadar ”lipstik” dengan formalitas yang sepertinya dibuat-buat. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah gelanggang ”konspirasi kemakmuran”.

Bagaikan arena gladiator, siapa yang ”kuat” dalam permainan itu, dia akan menjadi pemenang, yang dielu-elukan dengan sorak-sorai kegembiraan dari mereka yang mendapatkan ”kucuran”. Sementara yang lemah akan terkapar gugur.

Kisah ”manusia setengah dewa” yang membangun ”dinasti” demi mengumpulkan pundi-pundi kekayaan terbongkar sudah, membuka mata kita betapa keserakahan jadi kelaziman. Atau kisah petinggi hakim di Mahkamah Konstitusi yang menangguk ”jarahan” hasil suap, bergelimang materi, akhirnya ”karma” menghabisinya akibat perbuatan culasnya.

Kini muncul lagi kasus suap yang menimpa pejabat Bea dan Cukai. Kasus ini ibarat membongkar ”sarang penyamun” yang sepanjang waktu jadi sasaran ”stigma” masyarakat. Banyak cerita menebar aroma tak sedap tentang institusi yang bertindak sebagai gerbang pengawas keluar-masuk barang ekspor-impor itu. Kisah tentang upeti, setoran, kongkalikong ataupun tentang arloji impor, sepatu mahal, dan barang bermerek lain yang menghiasi tangan, alas kaki, dan bagian tubuh lainnya oknum Bea dan Cukai.

Seorang relasi saya bercerita enaknya oknum pegawai Bea dan Cukai. Mereka bagai hidup di ”negeri mimpi”. Biar gaji standar pegawai, penampilan gedongan, pakai mobil mewah dengan segala pernak-pernik. Apatah kata, inilah wajah babak belur institusi yang digadang-gadang mampu memberikan masukan berarti bagi negara.

Titik rawan

Titik rawan korupsi di Bea dan Cukai lantaran ada pembiaran sehingga berlangsung lama. Fakta ini menunjukkan betapa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, ”bermuka tembok” lantaran tidak mau belajar dari kasus-kasus korupsi sebelumnya. Masih segar dalam ingatan kita ketika kasus Gayus Tambunan, disusul kasus-kasus mafia pajak lainnya, Kemenkeu menjanjikan kasus-kasus tersebut menjadi momentum untuk bersih-bersih internal dan penguatan pengawasan.

Janji ternyata tinggal janji. Rakyat kembali tertimpuk ”kudeta hati” dan karena itu berhak menagih janji itu serta mempertanyakan kapan pembenahan internal mencapai hasil maksimal?

Banyak pihak menyadari bahwa posisi Kemenkeu sesungguhnya jadi pilot project dalam reformasi birokrasi lembaga negara. Sebagai penggebrak reformasi birokrasi, ia diharapkan berefek domino terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. Kemenkeu tentunya harus lebih hati-hati dan sigap dalam melancarkan perbaikan internal setelah pengalaman dibobol oleh para mafia kemaruk. Ini pelajaran penting, bukan ”tontonan eksotis” bagi masyarakat.

Kesan sporadis dan ”hangat-hangat tai ayam” kelihatannya masih menonjol dalam pembenahan birokrasi di negeri ini. Anggapan seperti itu tak berlebihan karena memang hingga kini cerita dan tayangan mengenai ”keruwetan” di lingkungan jawatan pemerintah masih terus bergulir jadi pembicaraan hangat di semua lapisan masyarakat. Ini pertanda kepuasan dan ”rasa keadilan” masyarakat, terkait masih maraknya penyelewengan di kalangan aparatus negara, terus terusik. Mimpi terciptanya pemerintahan yang bersih terasa masih jauh panggang dari api.

Kita tak menutup mata bahwa pemerintah telah berupaya membenahi birokrasi, termasuk di Bea dan Cukai. Mutasi pegawai dan remunerasi sudah dijalankan. Pengawasan kian diketatkan. Namun, belum membuahkan hasil gemilang. Di sana-sini masih terjadi penyelewengan. Para ”Tuan Takur” justru lebih ”kreatif” dalam menyiasati langkah ”dasamuka”-nya.

Di negeri kita umum diketahui, korupsi selalu dilakukan secara berjemaah. Yang namanya jemaah tentu ada imamnya. Sebagaimana shalat berjemaah, ada imam dan makmum. Si makmum mungkin saja awalnya tak berpikiran miring, tapi karena ada ”komando” dari si imam, sulitlah mengelak. Lama-lama nyaman juga menerima ”saweran”, akhirnya keenakan dan jadilah tradisi. Karena mentradisi, hilanglah ingatan bahwa apa yang dijalankan itu penyelewengan dan berarti pengkhianatan terhadap negara.

Kepemimpinan

Kita sepertinya ”apatis” terhadap mentalitas pemangku birokrasi. Setidaknya demi mengikis mentalitas culas, kiranya perlu menata ulang cara berpikir dalam birokrasi. Begitu pula, budaya tertutup, saling segan, serta pencarian zona nyaman sudah harus diakhiri. Secara sistem, fungsi pelayanan serta penempatan institusi sebagai ”penentu” kebijakan dan penganggaran perlu disikapi secara kritis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Mendapatkan Simpati Publik

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Mendapatkan Simpati Publik

Nasional
Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Nasional
Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Nasional
Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Nasional
Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Nasional
Ganjar Yakin Megawati Sampaikan Sikap Politik PDI-P untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran Saat Kongres Partai

Ganjar Yakin Megawati Sampaikan Sikap Politik PDI-P untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran Saat Kongres Partai

Nasional
Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Nasional
Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu 'Poco-Poco Kepemimpinan', Sindir Pemimpin Maju Mundur

Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu "Poco-Poco Kepemimpinan", Sindir Pemimpin Maju Mundur

Nasional
Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Nasional
PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling 'Fair'

PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling "Fair"

Nasional
Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Nasional
Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Nasional
PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

Nasional
Pengamat Sebut Hasil Rakernas 5 PDI-P Jadi Sinyal Partai Banteng Oposisi Prabowo-Gibran

Pengamat Sebut Hasil Rakernas 5 PDI-P Jadi Sinyal Partai Banteng Oposisi Prabowo-Gibran

Nasional
98 Persen Jemaah Gelombang Pertama Belum Pernah Berhaji

98 Persen Jemaah Gelombang Pertama Belum Pernah Berhaji

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com