MAYORITAS warga Jakarta diyakini puas dengan duet Jokowi-Ahok yang sudah genap setahun memimpin Ibu Kota. Kalaupun masih ada segelintir warga yang kurang puas, itu pertanda positif bahwa demokrasi kita sehat.
Jika boleh menduga, rasa puas itu tercermin dari rasa memiliki (sense of belonging) atau kepedulian warga terhadap Jakarta. Rasa memiliki ini yang telah lama hilang, tercermin dari apatisme dan egoisme warga terhadap lingkungan selama puluhan tahun.
Sebagai referensi, Jokowi dipandang sebagai "Bang Ali baru". Ahok, sebagai wakil gubernur, bukan sekadar nilai plus bagi Jokowi. Terbukti ia juga muncul sebagai pemimpin idola yang tak kalah kualitasnya dibandingkan Jokowi.
Mengembalikan rasa memiliki bukanlah tugas mudah seperti membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan pemimpin/kepemimpinan yang jujur, sederhana, rasional/masuk akal, dan lebih banyak bekerja ketimbang bicara (get things done).
Fitur-fitur itu sudah tertanam lama pada diri Jokowi-Ahok. Mereka masing-masing berpengalaman memimpin di Kota Solo dan Kabupaten Belitung Timur.
Latar belakang mereka pebisnis, sebuah profesi yang berwatak zero tolerance karena perhitungan untung dan rugi yang cermat. Kalaupun bersinggungan dengan politik melalui partai masing-masing, itu tampaknya cuma sekelebatan saja.
Dunia usaha bukan latar belakang yang mencengangkan untuk ukuran pemimpin/kepemimpinan dewasa ini. Tipologi pemimpin/kepemimpinan demokrasi baru kita selama ini kerap keliru. Kekeliruan itu antara lain karena mengandalkan status-status yang umumnya semu.
Intinya, Jokowi-Ahok adalah dua orang yang jauh dari istimewa alias biasa-biasa saja. Tidak ada yang khusus pada diri mereka berdua, mereka mungkin masuk kalangan awam.
Apakah mereka punya karisma yang membuat mereka seperti satrio piningit? Rasanya tidak juga.
Namun, situasi dan kondisi pemimpin/kepemimpinan dewasa ini sedang mengalami anomali. Mencari pemimpin/kepemimpinan yang jujur, sederhana, rasional/masuk akal, dan lebih banyak bekerja ketimbang bicara, ibarat mencari jarum di gudang jerami.
Sejak reformasi, kita acapkali mudah teperdaya oleh kemunculan pemimpin/kepemimpinan yang sering bersifat instan dan manipulatif. Tadinya kita mengira mereka berkualitas emas, belakangan mereka ternyata cuma berkualitas loyang.
Mereka tampak jujur hanya di permukaan saja, di bawah permukaan rupanya terlalu banyak rahasia. Mereka pura-pura sederhana di hadapan publik, padahal kaya-raya dari korupsi.
Mereka jauh dari sifat rasional karena mengandalkan irasionalitas klenik-dukun atau dogma-dogma agama untuk sekadar berkuasa. Dan, tentu saja mereka lebih suka "omdo" (omong doang) karena ternyata malas bekerja.
Kita yang keliru karena sering gampang terpukau oleh pemimpin dan dengan cepat mudah kecewa terhadap mereka. Ibaratnya kita "memungut pemimpin di tepi jalan untuk mengantarkannya ke pemakaman".
Jujur, sederhana, rasional, dan get things done terangkum dalam satu kata, blusukan. Blusukan itulah yang kini tipologi kepemimpinan baru yang ditiru banyak kepala daerah. Lagi-lagi tak ada yang istimewa dengan blusukan. Salah satu tugas pemimpin adalah sesering mungkin ke lapangan—pada zaman Orde Lama dan Orde Baru dikenal "turba" (turun ke bawah).
Jokowi-Ahok bukan orang-orang dengan deretan gelar yang diraih di universitas-universitas bergengsi di luar negeri. Mereka sarjana hasil produksi dalam negeri, masing-masing lulusan S-1 Universitas Gadjah Mada dan Universitas Trisakti.
Mereka bukan cendekiawan pandai yang hafal teori-teori perkotaan mutakhir. Mereka bukan purnawirawan yang konon dibutuhkan untuk memimpin Ibu Kota yang "keras" ini.
Nah, selain membangkitkan kembali rasa memiliki warga atas Ibu Kota, Jokowi-Ahok menciptakan pula para pengikut yang otentik (genuine). Pengikut mereka pasti mencakup kalangan dari lintas usia, agama, etnis, partai, dan seterusnya.
Di benak para pengikut ini, narasi tentang Jokowi-Ahok sudah mulai berubah. Euforia kemenangan Jokowi-Ahok sudah berkurang digantikan rasa yakin bahwa mereka akan menjadi pilihan utama jika, misalnya, memimpin negeri ini.
Ada kesan para pengikut mereka sudah menentukan pilihan. Tinggal masalahnya apakah mereka akan diduetkan sebagai capres dan cawapres oleh PDI-P dan Gerindra?
Sementara buat sebagian orang, mereka sebaiknya bertahan dulu menyelesaikan tugas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. Kontra argumen dari mereka yang meyakini asas manfaat adalah sayang jika mereka hanya memimpin Jakarta saja.
Hal yang patut dicamkan Jokowi-Ahok: keduanya dipilih dan bekerja karena dukungan kita para pengikut. Saat mencoblos pada pilgub DKI, "kita bersama memilih diri kita sendiri".
Semangat kolektivisme—bukan individualisme—warga inilah yang membuat kita yakin Jokowi-Ahok semestinya "naik kelas" ke panggung nasional. Sayang sistem politik kita menganggap presiden/wapres jabatan untuk "manusia setengah dewa".
Sambil makan sate di kaki lima Jalan Proklamasi, Bung Karno heran mengapa dipercayai jadi presiden. Dalam pidato panjang yang banyak dihiasi kata "daripada" saat kelahiran Orde Baru, Pak Harto mengaku tak pantas jadi presiden.
BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri tak akan jadi "RI-1" andai Pak Harto dan Gus Dur tidak mengundurkan diri.
History in the making. Kita rugi kalau akhirnya tahun depan yang nyapres L4 (lu lagi lu lagi).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.