Mereka pun mulai mengeluhkan masa depan anak-anak mereka yang banyak. Pemerintah boleh kecewa lantaran Keluarga Berencana gagal di perkebunan ini. Tapi kawan-kawan saya juga punya alasan yang masuk akal kenapa anak-anak mereka lahir berendeng. Sebab, kata mereka, setelah lampu mati sekitar pukul sepuluh malam (sesuai kebijakan manajemen perkebunan), cuma ranjang yang jadi hiburan mereka. Di luar itu, anak adalah buah dadu yang memberi kemungkinan untuk memperbaiki nasib mereka di hari tua.
Ya, ya…, ini memang ujud keputus-asaan setelah mereka meyakini nasib mereka tak akan pernah berubah selain sebagai buruh penyadap karet. Sebuah keyakinan yang juga pernah dirasakan oleh orang tua mereka yang menyebratkan anak-anaknya untuk belajar jadi buruh sebelum lulus sekolah dasar.
Pas matahari di puncak kepala, kami pun menyudahi pertemuan. Kawan-kawan saya mengaku cukup senang karena saya masih ingat mereka. Sebelum berpisah, Aman sempat berpesan supaya saya jangan melupakan dia dan warga perkebunan.
Sebulan setelah pertemuan itu berlalu, saya masih senantiasa ingat Aman dan kawan-kawan lain di perkebunan. Terutama, tiap kali berkendara mobil mengitari kota Jakarta. Sebab, getah karet yang diambil Aman dan kawan-kawan sejak pagi buta di hutan-hutan karet, kini telah menjelma ban mobil yang membawa pergi ke mana saya suka.
Wus! Wus!…Din! Din!
@JodhiY
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.