Padahal…ya padahal, saya kepingin bercerita dengan Pak Slamet, seorang buruh pabrik yang saya kagumi karena ketelatenannya merawat sepeda merek Gazzele yang senantiasa berbunyi cik-cik-cik…, lantaran Pak Slamet tak pernah telat menggosoknya pagi dan sore. Tapi sayang, Pak Slamet ternyata telah wafat tiga tahun lalu.
Ah, saya mendadak sedih saat melihat Mbok Cunggret yang kini telah renta. Dia hampir-hampir tak mengenali saya. Dia lah yang dulu rajin memberi rebung-rebung pakis dan jamur tiap kali pulang dari hutan karet sehabis mengantar ransum buat Kang Marsin, suaminya.
Begitulah, orang-orang yang pernah saya kenal di perkebunan itu bagai daun-daun karet. Sebagian telah menguning tua, sebagian lainnya telah rontok dan menjadi humus tanah perkebunan itu.
Mereka yang masih bertahan, tak jua beranjak dari kemiskinan bahkan ketika usia senja tiba. Mereka masih papa, kendati keringat mereka telah turut serta memakmurkan para atasan dan pemilik perkebunan yang konon orang Inggris.
Pemerasan terus berlangsung secara berkesinambungan. Sebab, setelah orang tua mereka berhenti jadi buruh, giliran anak-anak mereka yang dulu kawan sekolah saya di SD meneruskan profesi orang tuanya sebagai buruh.
Aman, Pardi, Dul, Dasam, Imang, adalah di antara kawan-kawan saya yang masih bertahan di sana, meneruskan tradisi “perbudakan” di perkebunan. Saya hampir-hampir tak mengenali mereka. Saya sedih, sebab mendapatkan kawan-kawan sepermainan kini telah kisut kulitnya dan suram pandang matanya lantaran beban hidup yang keliwat berat.
Saya bertemu kembali dengan kawan-kawan saya di halaman pabrik. Seorang mandor pabrik yang bermisai bapang memanggil nama orang-orang yang saya cari.
Kami hanya bersalaman saja. Entah siapa yang mengomando, kelima kawan saya itu mundur dua tindak dari hadapan saya. Saya hanya tersenyum menyaksikan pemandangan ini tanpa ada keinginan untuk bertanya, “kenapa?”
Ya, saya sudah tahu jawabannya. Meski saya teman mereka di kala kecil, tapi kini saya telah menjadi mahluk asing bagi mereka. Garis demarkasi mendadak terlihat membentang di hadapan kami.
Agar jarak tak semakin melebar, saya segera berkata, bahwa saya masih kawan mereka. Tak ada yang berubah pada diri saya kecuali kini saya hidup di kota dan mereka hidup di tengah hutan.
“Beda saja, pak,” ujar Aman memanggil saya dengan sebutan Pak.
“Apanya yang beda?” tanya saya.
“Baju bapak bagus,” Aman menyahut.
“Dan wangi,” Dasam menyusul sambil tertawa kecil.
Saya pun tersenyum kecut, menyesali ketololan saya yang telah menyemprotkan parfume ke baju, seolah hendak berangkat ke kantor waktu hendak menuju perkebunan dari rumah ibu di Wangon.
Untuk mencairkan suasana, saya pun menawari mereka rokok seraya mengajak mereka duduk di bawah pohon kenari (Canarium commune). Di pohon inilah dulu saya bersama mereka suka mencari buah kenari untuk dimakan isinya atau dibuat hiasan semacam liontin.
Mulailah kami bercerita tentang kenangan masa lalu. Kini, tak ada lagi yang memanggil saya Pak. Bahkan mereka memanggil saya Gundul, sebuah panggilan buat saya di waktu kecil lantaran ibu gemar menggunduli rambut saya.
Setelah lewat pertanyaan-pertanyaan standar tentang anak, istri, serta pekerjaan, kami pun tenggelam dalam kenangan masa kanak-kanak. Dan ketika kami mengapung kembali ke dunia nyata, saya mendapatkan kembali kesuraman di mata kawan-kawan saya.