3. Prestasi Jokowi selama menjadi Gubernur DKI
Sebagian kalangan mencoba menggunakan alasan bahwa Jokowi belum berbuat banyak sebagai Gubernur DKI Jaya dalam setahun terakhir dan karenanya tidak layak menjadi RI-1.
Pertanyaan yang sama dengan mudah dialamatkan kepada para calon lain, apa yang mereka perbuat selama setahun terakhir yang bisa diingat dengan jelas oleh rakyat? Apa yang diperbuat oleh Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakrie, Megawati, Jusuf Kalla dalam setahun terakhir yang bisa Anda ingat? Anda pasti kesusahan untuk memberikan satu contoh nyata.
Jokowi justru memiliki platform yang bagus untuk menempatkan namanya dalam benak publik dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI. Walau kecil, tetapi berbagai upaya yang dilakukannya untuk mengurangi banjir (pembersihan waduk, penyelesaian pemukiman kumuh), meningkatkan kesehatan penduduk (KJS), memperbaiki transportasi (pembangunan monorel dan MRT), memberikan penghiburan (berbagai acara kesenian di Monas), mulai menampakkan hasil.
Ini tentu belum cukup dan barangkali belum memadai untuk menyelesaikan masalah Jakarta. Namun, Jokowi membawa hal lebih besar tampaknya, yaitu harapan.
Banyak warga Jakarta sebenarnya dalam keadaan "egois" sekarang karena mereka mengharapkan Jokowi menyelesaikan masalah di Ibu Kota dulu sebelum melanjutkan tugas lebih besar. Harapan yang wajar.
Namun, dalam pandangan saya, bila Jokowi menjadi presiden, dia masih bisa tetap memperhatikan masalah Jakarta dengan memasukkannya dalam kebijakan untuk seluruh Indonesia. Masalah di Jakarta sebenarnya bukan masalah unik kota ini sendiri, sebagian besar adalah masalah yang terjadi juga di kota-kota lain di Indonesia.
4. Jokowi Bukan Juru Selamat
Bila Jokowi menjadi RI-1 berikutnya, akankah dia mampu menyelesaikan masalah Indonesia? Tidak ada jaminan untuk itu. Namun secara pribadi, menurut saya, saat ini, Indonesia tidak dalam keadaan terpuruk, artinya Indonesia tidaklah perlu diselamatkan.
Indonesia hanya memerlukan pemimpin baru dengan ide-ide baru untuk membawa negeri ini melakukan akselerasi lebih cepat lagi ke tingkat dunia. Indonesia dalam delapan tahun terakhir di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidaklah buruk. Di kalangan kelas menengah, mungkin banyak yang tidak puas dengan kinerja SBY. Namun, kalau kita kaji lebih mendalam, ini bukan disebabkan karena keadaan menuju ke arah yang negatif.
Dalam berbagai takaran internasional, Indonesia kalau tidak dikatakan sangat oke, ya paling tidak stabil. Yang menjadi masalah, menurut saya, bahwa rakyat banyak (baca: kelas menengah) mengharapkan lebih dari sekadar oke yang dulunya harapan besar itu mereka taruh pada sosok SBY.
Ketika SBY kemudian tidak banyak mengambil keputusan strategis (seperti sebuah tulisan yang mengatakan dalam 10 tahun, SBY hanya membuat 2 keputusan penting, sementara Gus Dur ketika menjadi presiden membuat 10 keputusan penting dalam 2 tahun), muncul istilah "negara autopilot", negara yang berjalan sendiri.
Mungkin banyak negara lain iri bahwa dengan keadaan autopilot saja pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen per tahun. Yang terjadi dengan pemerintahan SBY adalah ketidakmampuan jajaran pemerintahan mengelola harapan dengan baik (managing expectation).
Harapan besar yang disuarakan oleh publik dibiarkan membumbung tinggi. Ketika kemudian harapan itu tidak terwujud, maka kekecewaan yang muncul lebih besar. Dalam hal ini, Jokowi kembali membawa harapan baru tersebut. Namun, dengan gayanya yang sederhana, yang selalu merendah, Jokowi menurut saya paling tidak membawa harapan bahwa dalam lima tahun ke depan, Indonesia akan mengalami "hal yang berbeda" dengan masa-masa sebelumnya. Sudah ada yang menyamakan dengan keadaan Amerika Serikat sebelum Barack Obama terpilih.
Mungkin juga kita melihat ke negeri lain seperti Venezuela dan Iran ketika mereka mendapatkan Hugo Chavez dan Mahmud Ahmadinejad. Ketiga tokoh ini membawa suka cita baru di kalangan rakyat mereka.