JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) dinilai bukan sekedar pada subtansi, namun pada konsep dasar pengaturan. Penyusunan RUU tersebut dinilai berpijak pada kerangka pemikiran yang keliru.
"Meskipun ada perbaikan terhadap pasal-pasal yang bermasalah, hal tersebut hanya bersifat tambal-sulam karena perubahan yang muncul berdiri di atas kerangka berpikir yang keliru," kata Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Fransisca Fitria saat diskusi di Jakarta, Sabtu (29/6/2013).
Fransisca atau biasa dipanggil Iko mengatakan, jika RUU Ormas sebagai ditujukkan sebagai instrumen pencegahan kekerasan atau upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas ormas, hal itu sudah diatur dalam berbagai peraturan. Pengaturan tersebut diantaranya di KUHP/KUHPerdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tipikor, UU Pencucian Uang, dan lainnya.
Jika berbagai peraturan itu dianggap tidak cukup efektif, seharusnya peraturan itu yang direvisi. Selain itu, ada 41 pasal di RUU Ormas yang sudah diatur di UU Yayasan. Pasal lain akan diatur dalam RUU Perkumpulan.
Selain itu, KKB menilai RUU Ormas berpotensi memunculkan kembali pendekatan politik pemerintah terhadap ormas. Mereka mengkaitkan dengan peran Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri. Meski ormas dengan beragam latar belakang seperti pendidikan, kesehatan, seni budaya tetap di bawah kendali Kesbangpol.
Argumentasi lain, terjadi kerancuan dalam RUU Ormas. Menurut KKB, RUU Ormas mencampuradukkan semua jenis organisasi, baik berbadan hukum (yayasan), perkumpulan, dan organisasi tidak berbadan hukum (paguyuban, asosiasi).
Jika dalil RUU Ormas dibentuk untuk memberdayakan ormas, KKB menganggap alasan itu tidak bisa dijadikan dasar pembentukan ormas. Pemberdayaan ormas, menurut KKB, seharusnya dilakukan seperti pemerintah berhadapan dengan sektor swasta.
Pemerintah memfasilitasi dengan memberikan karpet merah dan menciptakan iklim kondusif dalam berinvestasi. Jadi, organisasi butuh lingkungan yang kondusif pula serta bukan dengan pendekatan politik dan keamanan. "Dalam artian tidak represif, tidak birokratis, dan memberikan sejumlah insentif seperti insentif pajak bagi organisasi yang menjalankan misi kebudayaan dan sosial," kata Iko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.