KOMPAS.com - Senin, 20 Mei 2013, DPR menggelar sidang paripurna yang dihadiri 423 dari total 560 anggota DPR. Salah satu agendanya adalah pengambilan keputusan atas laporan Komisi V, Komisi XI, dan Badan Anggaran DPR mengenai hasil pembahasan terkait persetujuan penghapusan piutang secara bersyarat pada lima perusahaan daerah air minum (PDAM) yang berutang.
Menurut Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit, penghapusan piutang telah dibahas dan disetujui Komisi V dan Komisi XI serta diamini Badan Anggaran DPR. Dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus), 16 Mei 2013, hal itu disepakati untuk dilaporkan dalam rapat paripurna sebagai pengambil keputusan tertinggi di DPR.
Seusai Ahmadi membaca laporan, interupsi bermunculan. Mereka memprotes bagaimana bisa mengambil keputusan kalau mereka tidak dijelaskan duduk perkaranya. Mereka protes mengapa tidak diberi fotokopi mengenai dokumen-dokumen lengkap terkait materi tersebut.
Dalam sidang paripurna berikutnya yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sohibul Iman, Kamis, 23 Mei 2013, yang dihadiri 297 anggota, DPR kembali mengagendakan pengambilan keputusan terkait persetujuan penghapusan piutang secara bersyarat pada lima PDAM.
Semua anggota DPR telah mendapatkan salinan dan lampiran lengkap terkait materi penghapusan piutang. Fotokopinya telah dibagikan beberapa hari sebelumnya agar bisa dipelajari.
Namun, alih-alih berjalan mulus, pengambilan keputusan makin ramai oleh interupsi dan silang pendapat. Bahkan, perdebatan juga masuk ke masalah teknis yang seharusnya sudah selesai dibahas di tingkat komisi.
Sarifudin Sudding dari Komisi III mengatakan, penghapusan piutang tidak sah jika tidak ada audit dari BPK. Sohibul mencoba menengahi dengan meminta peserta sidang memercayai hasil pembahasan di tingkat komisi. Namun, anggota Komisi V, Epyardi Asda, menolak karena merasa pembahasan di Komisi V belum tuntas. Nudirman Munir dari Komisi III kemudian mengusulkan agar pimpinan Komisi V dan XI memberi penjelasan. Namun, ketika dipersilakan Sohibul, tidak ada satu pun unsur pimpinan Komisi XI dan V yang hadir. Sidang akhirnya ditunda lagi.
Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, konyol bagi lembaga sekelas DPR, sidang paripurna batal gara-gara materi belum difotokopi. Kacaunya sidang paripurna juga menunjukkan tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan yang jelas. ”Sebelum mengikuti sidang paripurna, logikanya setiap anggota sudah tahu apa yang akan dibahas. Menjadi aneh kalau ada anggota DPR yang tidak tahu,” katanya.
Selain anggota DPR kurang proaktif bertanya, perwakilan fraksi yang mengetahui persoalan juga tidak mengomunikasikannya kepada rekan-rekan sefraksi. Percuma dibentuk komisi, Bamus, dan sebagainya sebagai perwakilan fraksi untuk memudahkan pembahasan jika dalam rapat paripurna hasil pembahasannya kembali dimentahkan. (M Fajar Marta)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.