Chevron adalah perusahaan minyak multinasional asal Amerika Serikat. Namun, ternyata sidang-sidang Chevron tetap sepi dari liputan awak media. Di jejaring sosial, kasus ini justru jadi olok-olok terhadap kinerja Kejaksaan. Memang, salah seorang terdakwa dan rekan-rekannya terlihat aktif berkampanye untuk menyatakan dirinya tak terlibat, dan menganggap kasus itu tak layak disidangkan di Pengadilan Tipikor.
Kejaksaan Agung mendakwa Chevron melakukan bioremediasi fiktif karena yang dibioremediasi bukanlah tanah tercemar. Kejaksaan juga menganggap kontraktor yang menjalankan pekerjaan bioremediasi tak memiliki izin pengolahan limbah, terutama bioremediasi.
Saksi-saksi pun jumlahnya sudah puluhan dihadirkan. Salah satu keterangan menarik dari Kepala Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Masnellyarti Hilman, yang menyatakan izin bioremediasi hanya diwajibkan bagi penghasil limbah yaitu Chevron. Sementara itu, kontraktor pelaksana teknis tak perlu mengurus izin.
Ketentuan itu merujuk pada Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 juncto PP No 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP No 18 Tahun 1999.
Sampai di situ, Chevron di atas angin. Kejaksaan pun mendatangkan ahli yang akan memberatkan Chevron. Maka dipanggillah Edison Effendi yang sempat mendampingi Kejaksaan ketika menyidik kasus ini. Namun, kehadiran Edison justru memicu perlawanan mematikan dari kubu terdakwa.
Usut punya usut, Edison dianggap sebagai orang yang memiliki kepentingan karena menurut kubu terdakwa, Edison pernah mengikuti tender di Chevron dan kalah. Hingga di situ, di berbagai media sosial, publik banyak mereka-reka apa yang terjadi dengan Kejaksaan dan kasus itu.
Itulah kira-kira yang membedakan cara kerja taktis antara KPK dan Kejaksaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.