JAKARTA, KOMPAS.com — Penyidikan kasus dugaan korupsi proyek Hambalang mulai mengarah kepada keterlibatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini terungkap dari pengakuan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault seusai diperiksa KPK sebagai saksi Hambalang, Jumat (5/4/2013). Adhyaksa mengaku diajukan pertanyaan penyidik KPK yang mengarah ke anggota DPR.
"Setelah diperiksa dua jam sebagai saksi, saya lihat makin mengerucut dan untuk penguatan dakwaan. Ada juga beberapa pertanyaan ke saya soal legislatif," kata Adhyaksa di Gedung KPK, Jakarta.
Menurut Adhyaksa, pemeriksaan keduanya ini sudah mengarah ke pendalaman kasus. Ada hal-hal baru mengenai anggota DPR dan sejumlah tokoh yang ditanyakan kepadanya. "Kan saya jadi menteri selama lima tahun tuh, kan kenal tokoh-tokoh dan anggota DPR, jadi tuh arahnya lebih ke pendalamanlah," ungkap Adhayaksa.
Sayangnya, dia enggan menyebutkan nama anggota DPR dan tokoh-tokoh lain yang digali perannya oleh penyidik KPK tersebut. Adhyaksa mengaku diajukan pertanyaan mengenai perubahan anggaran Hambalang dari Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun.
Alokasi anggaran proyek tersebut disetujui melalui pembahasan di DPR, tepatnya di Komisi X. "Pokoknya ada pertanyaan ke saya tentang anggota dewan, itu saja. Kan saya lima tahun jadi menteri nih, kenapa anggaran dari Rp 125 miliar jadi Rp sekitar 2,7 triliun, itu kan bukan pada periode saya," kata Adhyaksa.
Dalam kasus Hambalang, KPK menetapkan empat tersangka. Keempatnya adalah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar, petinggi PT Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noer, dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Adapun Andi, Deddy, dan Teuku Bagus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, sementara Anas diduga menerima hadiah atau janji terkait proyek Hambalang.
Diduga, saat penerimaan hadiah itu terjadi, Anas masih menjabat Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR. Sejak dalam tahap penyelidikan, KPK menduga ada yang janggal dengan proses penganggaran proyek Hambalang. Salah satunya ialah mengenai persetujuan kontrak tahun jamak (multiyears).
Sejumlah anggota Komisi X DPR telah diperiksa dan diajukan pertanyaan mengenai penganggaran proyek ini. Mereka yang diperiksa sebagai saksi di antaranya ialah Zulfadhli (Partai Golkar), Angelina Sondakh (Partai Demokrat), Mahyuddin (Partai Demokrat), Gede Pasek Suardika (Partai Demokrat), I Wayan Koster (PDI-Perjuangan), Primus Yustisio (Partai Amanat Nasional), Rully Chairul Azwar (Partai Golkar), Kahar Muzakir (Partai Golkar), dan Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (PAN).
Seusai diperiksa, para anggota dewan ini rata-rata mengaku ditanya penyidik KPK seputar persetujuan anggaran Hambalang. Mahyuddin, Rully, dan Koster mengungkapkan kalau persetujuan kontrak tahun jamak atau multiyears untuk anggaran Hambalang tidak melalui pembahasan di DPR. Menurut Koster, pembahasan usulan multiyears dilakukan di luar parlemen. Sementara menurut Mahyuddin, persetujuan itu langsung melibatkan Kementerian Keuangan, tidak perlu melalui DPR.
Meskipun demikian, menurut mereka, untuk nilai anggaran proyek, pembahasannya harus melalui DPR. Semua anggota Komisi X DPR, kata mereka, sepakat dalam menyetujui nilai anggaran Hambalang. Keterangan sedikit berbeda disampaikan Primus.
Seusai diperiksa KPK beberapa waktu lalu, Primus mengungkapkan bahwa sebagian anggota DPR semula tidak setuju dengan proyek Hambalang. Menurut Primus, pengadaan pusat pelatihan olahraga yang diusulkan pada 2010 itu tidak menjadi prioritas dibanding pelaksanaan SEA Games. Eko juga mengatakan kalau dia menolak usulan anggaran Hambalang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.