Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hasrat dan Keterbukaan Ambisi Politikus

Kompas.com - 25/02/2013, 11:28 WIB
Sidik Pramono

Penulis

oleh Sidik Pramono

 

 

Ketika pada awal November lalu, para ulama yang tergabung dalam Wasilah Silaturahim Asatidz Tokoh dan Ulama (Wasiat Ulama) mendaulat raja-dangdut Rhoma Irama sebagai calon presiden untuk Pemilihan Presiden 2014, respons beragam langsung mencuat. Misalnya saja, di media sosial yang (konon) didominasi oleh kelas-menengah, bukan main ramainya komentar menyangkut pencalonan Rhoma. Bukan hanya sikap kritis dan obyektif, sejumlah olok-olok menyangkut pribadi Rhoma pun mencuat.

 

Realitasnya, survei yang dilakukan tim Pusat Data Bersatu (PDB) pimpinan politikus PAN Didik J Rachbini sebagaimana dilansir awal Februari menempatkan Rhoma selalu dalam jajaran lima besar tokoh potensial calon presiden 2014, popularitas, dan juga tingkat kesukaan masyarakat. Bahkan berdasar survei yang dilakukan pada awal Januari 2013 itu, Rhoma merupakan calon presiden yang paling ada di benak publik (top of mind) masyarakat Indonesia.

 

Menurut pakar hukum Andi Irmanputra Sidin, kemunculan Rhoma sebagai calon presiden harus dilihat sebagai pemecah kebekuan. Sekalipun memang pernah terlibat dalam kegiatan politik-praktis semasa rezim Orde Baru, Rhoma toh lebih identik sebagai representasi kalangan "non-politikus" pada era sekarang.

Ketika para politikus-tulen yang berkutat mendominasi hak parpol untuk mengajukan calon presiden, pada saat itu toh masih ada tokoh yang diajukan (atau mengajukan diri?) sebagai kandidat. Dengan adanya alternatif kandidat yang bisa diajukan, keharusan melakukan "mekanisme internal yang demokratis" sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang, semestinya menjadi sebuah keniscayaan.

 

Jika kemudian selama ini parpol selalu mengedepankan soal popularitas dan elektabilitas sebagai sandaran untuk menentukan pilihan, kedua faktor itu tak lagi bisa didominasi oleh segelintir elite parpol. Rhoma atau siapapun, yang populer dan punya tingkat keterpilihan tinggi, berhak (di)maju(kan) dalam kontestasi untuk bisa dicalonkan oleh parpol.

"Toh selama ini parpol juga melihat popularitas dan elektabilitas sebagai faktor penting dalam menentukan calon. Survei-survei itu kan jadi pegangan dalam penentuan calon di pilkada, misalnya," ujar Irman.

 

Yang menyatakan secara terbuka niat untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2014 memang bukan hanya Rhoma seorang. Sebut juga Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto, atau Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto sebagai kandidat serius untuk pemilu mendatang.

 

Memang belum semuanya menggelar deklarasi terbuka, salah satunya karena setiap parpol tentu masih menimbang-nimbang hasil pemilu legislatif. Tokoh potensial lainnya masih mengukur-ukur keadaan, bisa jadi karena mereka belum memiliki parpol sebagai kendaraan-politik.

 

Dalam perbincangan akhir tahun lalu di Surabaya, pengajar politik Universitas Airlangga (Unair) Haryadi menyebutkan, sebenarnya tidak ada yang salah jika seseorang memiliki ambisi untuk meraih jabatan politik tertentu. Hal itu wajar saja sepanjang dilakukan dengan cara yang benar. Hanya saja, "budaya" masyarakat Indonesia masih menganggap ambisi itu sebagai hal yang kurang pantas.

Masyarakat Indonesia telanjur terbiasa tak terbuka, memilih untuk menyembunyikan keinginan dan hasrat politik tersebut di balik permukaan, sekalipun realitasnya "gerilya politik" tidak surut dilakukan oleh figur bersangkutan demi muara kursi kepresidenan, misalnya.

 

Jika seseorang dengan terang-benderang menyatakan keinginan yang hendak ditujunya, pada saat bersamaan masyarakat bisa (bahkan mutlak) mengukur kinerjanya sebagai patokan kepantasan yang bersangkutan menduduki jabatan tersebut.

Politikus bersangkutan akan dihadapkan dengan realitas masyarakatnya, bisa saja ia mengutarakan janji, dan pernyataan "kampanye" itulah yang segera akan ditagih oleh rakyat jika politikus bersangkutan memenangi kontestasi.

 

Kompetensi pastilah akan dinilai. Faktor integritas, yakni kesadaran menyangkut nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar, juga bisa kembali dilacak-ulang untuk mendapatkan bagaimana teguh-tidaknya seorang kandidat memegang prinsip perjuangan politiknya. Ujung akhirnya, masyarakat sebagai kekuatan konstituensi akan menjadi penentu bisa-tidaknya seorang politikus menduduki jabatan-publik tertinggi di negeri ini.

 

Kebanyakan politikus memilih tidak segera mengutarakan niatnya saat hendak berkompetisi untuk jabatan publik tertentu. Salah satu alasan yang kerap mengemuka, "timing-nya belum tepat". Padahal, jika seseorang politikus sudah menyatakan ambisinya, justru pada saat itulah publik bisa mencermati langkah yang diambil politikus bersangkutan. "Lha mau jadi pejabat publik kok tidak mau dinilai?" ujar Haryadi.

 

Bisa jadi, orang Indonesia lebih menyukai langkah yang diam-diam lantas muncul ke permukaan bak kapal selam. Hasrat politik, langkah politik yang terencana dan terukur seolah menjadi kesalahan. Padahal, dengan keterbukaan seperti itulah, semua mata bisa leluasa memandang dan ujungnya menimbang-nimbang kualitas seseorang yang akan diberi amanah untuk "mengemudikan" jalannya pemerintahan.

 

Jika semua lebih memilih bergelut dalam gerakan diam-diam, pada saat itulah rakyat nantinya seolah disudutkan atas keterbatasan penentuan pilihan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com