Oleh: Budiarto Shambazy
Saat Presiden Amerika Serikat Barack Obama belum lagi tancap gas kampanye Pemilihan Presiden 2012, Partai Demokrat sibuk dengan persiapan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton sebagai calon presiden 2016-2020. Bob Woodward, wartawan The Washington Post, yang mengungkapkan rencana itu.
Tahun 2016, Hillary Clinton berusia 69 tahun dan, jika terpilih, akan menjadi perempuan presiden pertama dalam sejarah AS. Istri mantan Presiden Bill Clinton ini diproyeksikan sebagai capres karena, menurut berbagai survei, ia pejabat paling populer dan disukai 60 persen lebih responden.
Hillary Clinton menlu/tokoh terpopuler antara lain karena kegigihannya mengagendakan dan memperjuangkan kesetaraan jender dalam praktik politik global AS. Sebagai ibu negara (1992-2000), ia berupaya mati-matian mengegolkan UU Jaminan Kesehatan dan sukses sebagai senator mewakili Negara Bagian New York (2001-2009).
”Jam terbang” Hillary Clinton lengkap, baik sebagai politisi legislatif, pejabat eksekutif, maupun capres 2008. Ia mundur dari jabatan menlu dan sedang kontemplasi untuk menyongsong 2016.
Sekarang, Demokrat mendebatkan pro dan kontra elektabilitas dia. Juga dibahas eksplorasi mendalam tentang pencalonan dari berbagai aspek, termasuk aspek pendanaan. Namun, nyaris tak satu media massa pun yang tertarik memberitakannya. Survei-survei juga belum ada yang menelitinya.
Soalnya, pilpres masih empat tahun lagi. Media massa menganggap berita-berita pencapresan kurang penting dibandingkan dengan berita soal jurang fiskal, pembatasan senjata api, dan lain-lain.
Lain padang lain belalang. Di negeri kita tercinta ini tingkat keberisikan capres yang disurvei dan lalu ditampilkan media sesungguhnya telah berlangsung sekurang-kurangnya dua tahun terakhir.
Rupanya politik di negeri gaduh ini lebih condong mengenai ketokohan dibandingkan dengan yang lain-lain. Makanya, ada sejumlah tokoh nonpolitisi yang self-proclaimed layak jadi capres dan popularitasnya meroket menurut survei.
Tentu saja survei-survei itu memiliki tingkat akurasi yang kredibel—mungkin, kecuali mereka yang punya ”divisi pemenangan”. Dan, mudah-mudahan saja ribuan responden yang ditanyai memang nyandak dan sukarela mau menjawab.
Juga sah-sah saja media massa lalu memberitakan besar-besaran hasil-hasil survei tersebut. Bahkan, sebagian juga mengadakan survei sendiri.
Jangan salah, tak ada kelirumologi dalam fenomena ini. Salah satu prinsip demokrasi, seperti kata sebuah iklan jadul, adalah ”(Ngomong) di mana saja, kapan saja, siapa saja”.
Siapa yang layak dijagokan tahun 2014 sudah jadi menu wajib dalam obrolan mulai tingkat warung kopi, arisan, reuni, sampai acara perkawinan. Kultur politik kita patron and client (bapak dan anak buah): seolah semua beres kalau presidennya hebat.
Apalagi, hasil survei yang disajikan merupakan suguhan yang mudah dicerna secara visual melalui media penyiaran ataupun cetak. Lebih gampang hafal siapa yang paling ngetop daripada membaca program-program capres.
Anda dimanjakan dengan ”survei bulanan” berisi ”lima besar” capres, lengkap dengan persentasenya. Pokoknya mirip dengan sajian tangga lagu populer pekan ini atau top hits.