Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdagang Pengaruh Politik ...

Kompas.com - 13/02/2013, 08:36 WIB

Febri Diansyah

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia diduga terlibat dalam korupsi terkait impor daging sapi. Kasus ini menyentak kesadaran publik, tak hanya bagi kader partai yang dikenal sangat ideologis, tetapi juga bagi masyarakat umum.

Dari perspektif politik, banyak hal bisa dibaca. Mulai dari runtuhnya legitimasi agama dalam kehidupan politik, prediksi larinya pemilih PKS, sampai pada isu konspirasi yang dijadikan kambing hitam. Namun, dari aspek hukum, yang menarik adalah pernyataan pemimpin KPK bahwa LHI diduga memperdagangkan pengaruhnya sebagai presiden PKS. KPK menggunakan Pasal 12 a/b, Pasal 5, dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apa yang dimaksud dengan memperdagangkan pengaruh?

Berdagang pengaruh

Merujuk pada Konvensi PBB Melawan Korupsi yang disahkan di Merida, Meksiko, tahun 2003, aturan trading in influence terdapat pada Pasal 18. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 pada 19 September 2006. Secara keseluruhan, per Desember 2012, tercatat 165 negara tercantum sebagai negara pihak dalam konvensi PBB melawan korupsi ini.

Sebelumnya, negara-negara di Eropa juga telah mengenal delik korupsi ini. Bahkan, yang menarik, dari publikasi Council of Europe (CoE) tahun 2000, Trading in Influence and the Illegal Financing of Political Parties, kriminalisasi memperdagangkan pengaruh dihubungkan dengan pendanaan politik secara tidak sah. Ia dikenal dengan jenis korupsi kerelasian trilateral dengan pelaku tidak hanya pejabat negara, tetapi juga warga negara biasa melalui pemberian hadiah atau janji. Deskripsi yang sama terjadi di Inggris melalui Prevention of Corruption Act (Willeke Slingerland, 2010: 3).

Sepintas, aturan ini mirip dengan unsur-unsur suap atau gratifikasi. Tujuannya juga sama. Namun, jika dicermati lebih jauh, pasal-pasal suap yang kita kenal di UU Tindak Pidana Korupsi saat ini sulit menyentuh pelaku yang bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Dalam kasus LHI mungkin tidak akan ada masalah berarti karena ia diproses ketika masih menjabat sebagai anggota DPR. Namun, bagaimana jika pelakunya bukan penyelenggara negara? Elite partai politik, misalnya. Padahal, bukti-bukti menunjukkan ia menerima setoran dari perusahaan agar menggunakan pengaruhnya menekan kementerian yang dipimpin oleh kader dari partainya untuk melakukan sesuatu. Bisakah ia dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Secara substansi, perbuatan yang dilakukan elite politik tersebut jelas salah. Bahkan, secara teoretis, inilah induk korupsi. Apalagi, di survei Transparency International, partai politik sebagai institusi paling korup memang menjadi tren negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pengaruh dan posisi partai yang sangat kuat dapat membuat menteri atau pejabat tertentu melakukan perbuatan yang menguntungkan pihak yang memberikan setoran kepada si elite partai.

Modus ini tentu sangat mungkin dikembangkan pada model pendanaan ke institusi partai. Pengusaha dan pihak lain yang ingin mendapatkan proteksi, memuluskan proyek atau kepentingan apa pun, dapat memelihara partai politik melalui dukungan dana politik. Tentu saja kita tidak sedang berbicara tentang aliran dana resmi yang tercatat pada kas partai atau yang dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum.

Bisakah praktik suap swasta di atas dijerat dengan UU Pemberantasan Korupsi yang ada saat ini? Kita memang memiliki UU No 11/1980 tentang Suap yang mengatur suap terkait dengan kepentingan umum. Namun, suap swasta ini tidak dikategorikan korupsi sehingga sulit bagi KPK menanganinya.

Idealnya, tentu dalam revisi UU Tindak Pidana Korupsi, klausul ini dimasukkan sebagai salah satu norma baru selain ketentuan tentang pemerkayaan gelap dan suap bagi pejabat publik asing. Sayangnya, dalam kondisi politik hari ini, penguatan terhadap pemberantasan korupsi nyaris menjadi utopia. Apalagi, hampir 50 kader partai yang duduk sebagai anggota DPR telah dijerat KPK.

Pembentukan hukum

Ada beberapa klausul yang bisa dikembangkan. Ambil contoh kasus korupsi M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Putusan yang telah in kracht di Mahkamah Agung ini menyinggung isu ”pengaruh politik” terkait suap yang diterima. Meskipun Nazaruddin anggota Komisi III DPR, sedangkan proyek yang diurus dibahas di Komisi X DPR, hubungan Nazaruddin sebagai bendahara Partai Demokrat dengan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang berasal dari partai yang sama menjadi salah satu pertimbangan penting. Nazaruddin kemudian divonis tujuh tahun penjara dan dijerat Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Jika bendahara umum saja memiliki pengaruh kepada menteri yang berasal dari partai yang sama, bagaimana dengan ketua umum atau presiden partai?

Namun, sekali lagi, pertanyaan yang masih menggantung adalah bagaimana jika Nazaruddin saat itu bukan anggota DPR? Ada beberapa pendekatan yang bisa dikembangkan KPK. Belajar dari otoritas di Swedia, berdagang pengaruh dapat dijerat dengan pasal suap biasa (Slingerland, 2010: 4).

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Komunikasi Intens dengan Nasdem, Sudirman Said Nyatakan Siap Jadi Cagub DKI

    Komunikasi Intens dengan Nasdem, Sudirman Said Nyatakan Siap Jadi Cagub DKI

    Nasional
    Megawati Minta Api Abadi Mrapen Ditaruh di Sekolah Partai, Sekjen PDI-P Ungkap Alasannya

    Megawati Minta Api Abadi Mrapen Ditaruh di Sekolah Partai, Sekjen PDI-P Ungkap Alasannya

    Nasional
    Pembayaran Dana Kompensasi 2023 Tuntas, Pertamina Apresiasi Dukungan Pemerintah

    Pembayaran Dana Kompensasi 2023 Tuntas, Pertamina Apresiasi Dukungan Pemerintah

    Nasional
    Hari Ke-12 Penerbangan Haji Indonesia, 72.481 Jemaah Tiba di Arab Saudi, 8 Wafat

    Hari Ke-12 Penerbangan Haji Indonesia, 72.481 Jemaah Tiba di Arab Saudi, 8 Wafat

    Nasional
    Sahroni Ungkap Anak SYL Indira Chunda Tak Pernah Aktif di DPR

    Sahroni Ungkap Anak SYL Indira Chunda Tak Pernah Aktif di DPR

    Nasional
    Kemenag Imbau Jemaah Haji Indonesia Pakai Jasa Pendorong Kursi Roda Resmi di Masjidil Haram

    Kemenag Imbau Jemaah Haji Indonesia Pakai Jasa Pendorong Kursi Roda Resmi di Masjidil Haram

    Nasional
    Mahasiswa Kritik Kenaikan UKT: Persempit Kesempatan Rakyat Bersekolah hingga Perguruan Tinggi

    Mahasiswa Kritik Kenaikan UKT: Persempit Kesempatan Rakyat Bersekolah hingga Perguruan Tinggi

    Nasional
    Tak Ada Jalan Pintas, Hasto: Politik Harus Belajar dari Olahraga

    Tak Ada Jalan Pintas, Hasto: Politik Harus Belajar dari Olahraga

    Nasional
    Megawati hingga Puan Bakal Pidato Politik di Hari Pertama Rakernas PDI-P

    Megawati hingga Puan Bakal Pidato Politik di Hari Pertama Rakernas PDI-P

    Nasional
    Kunjungi Lokasi Bencana Banjir Bandang di Agam, Zulhas Temui Pengungsi dan Berikan Sejumlah Bantuan

    Kunjungi Lokasi Bencana Banjir Bandang di Agam, Zulhas Temui Pengungsi dan Berikan Sejumlah Bantuan

    Nasional
    Diterima Hasto, Pawai Obor Api Abadi dari Mrapen sampai di Jakarta Jelang Rakernas PDI-P

    Diterima Hasto, Pawai Obor Api Abadi dari Mrapen sampai di Jakarta Jelang Rakernas PDI-P

    Nasional
    Sahroni Pastikan Hadiri Sidang SYL untuk Diperiksa Sebagai Saksi

    Sahroni Pastikan Hadiri Sidang SYL untuk Diperiksa Sebagai Saksi

    Nasional
    LPSK Sebut Masih Telaah Permohonan Perlindungan Saksi Fakta Kasus Pembunuhan Vina Cirebon

    LPSK Sebut Masih Telaah Permohonan Perlindungan Saksi Fakta Kasus Pembunuhan Vina Cirebon

    Nasional
    Ketua BKSAP Perkuat Komitmen Parlemen Anti-Korupsi dan Dorong Demokrasi Lingkungan di Asia Tenggara

    Ketua BKSAP Perkuat Komitmen Parlemen Anti-Korupsi dan Dorong Demokrasi Lingkungan di Asia Tenggara

    Nasional
    Pasal-pasal di RUU Penyiaran Dinilai Berupaya Mengendalikan dan Melemahkan Pers

    Pasal-pasal di RUU Penyiaran Dinilai Berupaya Mengendalikan dan Melemahkan Pers

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com