Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Dinding Istana

Kompas.com - 13/12/2012, 04:22 WIB
Oleh: Febri Diansyah


"Mendorong tronton mogok”. Terasa sangat sulit mengharap ketegasan dan keseriusan pemerintahan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi.

Mari kita lihat sikap Presiden terhadap kembali bergejolaknya relasi KPK-Polri setelah KPK menyidik indikasi korupsi di Korps Lalu Lintas Polri. Awalnya, pada pidato 8 Oktober 2012 kita mulai menemukan ketegasan sikap Presiden. Namun, sayang, pidato itu jadi terkesan tak berwibawa ketika dalam realita masih ditemukan pergesekan berkepanjangan Polri dan KPK. Sebutlah gugatan Korlantas Polri terkait penyitaan alat bukti, penarikan penyidik yang sedang menangani kasus korupsi, dan bahkan proses kriminalisasi terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, yang belum berhenti hingga kini. Di mana Presiden SBY?

Dinding Istana

Salah satu persoalan yang disinggung dalam pidato 8 Oktober adalah tarik-menarik penyidik KPK yang bertugas di Polri. ”Saya akan segera mengeluarkan peraturan pemerintah yang tepat, baik untuk KPK dan kemudian juga baik untuk Polri”, demikian diungkapkan Presiden. Peraturan dimaksud adalah PP No 63/2005 tentang SDM KPK. Presiden ingin merevisi sejumlah pasal. Dua bulan berselang, revisi PP yang dijanjikan tak kunjung ada.

Yang terjadi justru tarik-menarik di tingkat kementerian. Kementerian PAN keberatan dengan perpanjangan masa tugas pegawai dan penyidik KPK. Angka 8 tahun sebagai masa tugas maksimal sempat muncul dari seorang utusan kementerian ke KPK, seperti diungkapkan seorang pemimpin KPK di media massa.

Padahal, tanpa direvisi pun masa tugas maksimum pegawai KPK di PP 63 sudah 8 tahun. Dan, jika ini sempat terjadi, KPK akan lumpuh. Betapa tidak, 45 pelaksana tugas selain polisi dan jaksa akan berhenti dari lembaga ini. Padahal, mereka orang-orang andal yang bertugas di bagian pengaduan masyarakat, penyelidikan, dan bagian sentral lain di KPK.

Hingga akhir 2012, KPK mengungkapkan setidaknya 31 penyidik KPK telah ditarik Mabes Polri dan 13 lain terancam ditarik. Jika ini terus terjadi, sementara Presiden tetap ”bersembunyi” di balik dinding istana, niscaya Maret 2013 KPK akan kehabisan penyidik dari Polri. KPK akan lumpuh. Koruptor akan bersorak-sorai.

Padahal, KPK sedang memulai penyidikan skandal dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun, indikasi korupsi Hambalang dengan proyek Rp 2,5 triliun dengan tersangka terbaru menteri aktif dari Partai Demokrat, proyek pengadaan Al Quran yang menjerat politisi Golkar, sederet kasus mantan Bendahara Demokrat, Nazaruddin, mafia anggaran, dan kasus lain.

Hal itu tentu tak boleh dibiarkan. Ada dua hal yang harus dilakukan KPK. Pertama, memperjuangkan 28 penyidik yang alih status jadi pegawai tetap KPK dan kedua, mengangkat penyidik KPK di luar polisi dan jaksa. Dua tugas berat KPK ini tentu akan menghadapi perlawanan dari pihak yang tak ingin KPK kuat.

Untuk poin pertama, sikap Presiden tampak mendua. Selain revisi PP No 63 ternyata tak mengatur lebih lanjut alih tugas ini, dukungan politik terhadap 28 penyidik yang telah diangkat menjadi pegawai tetap KPK pun nyaris tak terdengar. Presiden cenderung kompromistis dengan mengatakan, ”Saya akan lakukan hal yang baik untuk KPK, baik juga untuk Polri.” Sebuah utopia ketika ada indikasi perlawanan balik saat KPK menangkap seorang jenderal dalam kasus dugaan korupsi.

Padahal, aturan hukum di Pasal 7 PP No 63/2005 jelas mengatur. Pegawai negeri yang dipekerjakan, termasuk penyidik Polri dapat beralih status menjadi pegawai tetap KPK, dan jika mereka sudah diangkat, ia diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Artinya? Menjadi kewajiban Polri memberhentikan dengan hormat penyidik itu dan mereka bisa bertugas maksimal di KPK. Kita tahu, Polri menolak patuh pada PP No 63 dengan alasan, para penyidik harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Apa dasar hukumnya? Tak jelas.

Alih status

Selain PP No 63/2005, ada dua aturan lain yang patut ditinjau, yaitu PP No 15/2001 yang diubah tiga kali menjadi PP No 8/2010 tentang Pengalihan Status Anggota TNI dan Anggota Polri menjadi PNS Jabatan Struktural; dan PP No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. Dua aturan hukum itu yang sering dikutip para petinggi Polri terkait alih status penyidik KPK.

Dengan membandingkan ketiga peraturan, ternyata yang berlaku dalam kasus ini hanya PP No 63/2005 tentang SDM KPK. Sebab, memang peraturan ini satu-satunya yang membahas KPK, sementara dua lainnya tidak. PP No 15/2001 tentang Alih Status Anggota Polri tak bisa menjangkau KPK karena yang dapat beralih status adalah anggota Polri untuk jabatan struktural. Penyidik di KPK tak termasuk jabatan struktural sebagaimana dijelaskan PP No 100/2000 yang mengatur khusus pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. Pegawai KPK bukan PNS. Apalagi, KPK tak termasuk 10 instansi sipil yang disebut oleh perubahan ketiga PP Alih Status Polri dan TNI itu.

Bagaimana dengan PP No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri? Bukankah jika PP SDM KPK mengatakan penyidik harus diberhentikan dengan hormat, konsekuensi hukumnya berlaku syarat pemberhentian di PP No 1/2003 ini? Tidak. Pertama, ruang lingkup alasan pemberhentian dengan hormat di PP ini hanya empat, salah satunya yang paling dekat adalah alasan ”pertimbangan khusus kepentingan dinas”. Dari uraian Pasal 7 PP No 1/2003, ini tak bisa berlaku pada pegawai KPK. Karena pemberhentian anggota Polri di sini adalah untuk dinas yang beralih-status jadi PNS seperti mengacu pada PP No 15/2001. Dua peraturan ”internal” Polri ini tak berlaku untuk alih status penyidik di KPK menjadi pegawai tetap.

Singkatnya, kausalitas ”pengangkatan menjadi pegawai tetap KPK” di PP No 63/2005 haruslah ditempatkan sebagai salah satu alasan khusus lain untuk pemberhentian dengan hormat. Dan, hal ini berlaku mutatis mutandis, tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

Begitulah penjelasan sederhana ”kemelut hukum” penyidik KPK dan kebutuhan nyata dukungan pemerintah terhadap kerja KPK. Jangan sampai karena KPK sedang menangani indikasi korupsi Century dan baru saja menetapkan kader ”kesayangan” Demokrat, Andi Mallarangeng sebagai tersangka, ada keengganan Presiden sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mendukung KPK.

Febri Diansyah Pegiat Antikorupsi; Peneliti Hukum ICW

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com