PONTIANAK, KOMPAS.com - Penerapan otonomi daerah, selain memberi dampak positif tak sedikit pula dampak negatif yang terjadi. Salah satu di antaranya adalah benturan antara gubernur dengan bupati atau wali kota di daerahnya.
Gubernur seringkali tidak dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan tertentu, karena menganggap kewenangan itu ada di kabupaten atau kota.
Demikian diungkapkan Asisten Daerah II Kalimantan Barat, Lensus Kandri, mewakili Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, dalam pencanangan satu polisi satu desa dan pembukaan sarasehan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat di Auditorium Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (7/12/2012).
"Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang beberapa kali diperbaharui itu, sering menimbulkan benturan antara provinsi dan daerah tingkat dua. Seringkali bupati atau wali kota membuat kebijakan tanpa melibatkan gubernur, karena merasa sudah otonomi daerah. Mereka lupa kalau gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah," ujar Lensus.
Dalam sebuah peraturan presiden, gubernur berhak memberi teguran dan sanksi kepada kepala daerah tingkat dua yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan.
"Namun, sanksi yang diberikan tidak bisa menyentuh pemberhentian kepala daerah tingkat dua, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat," kata Lensus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.