Kalau melihat kehidupan bangsa-bangsa baru, tahapan apa yang harus dilakukan sehingga komitmen awal ini menjadi kuat, dan terbangun seperti bangsa yang lama itu?
Menurut saya, kultur sebagai infrastruktur. Setelah ada bangsa baru Indonesia, dan banyak bangsa-bangsa kecil, dengan pola dan kultur yang beragam, apa yang dibutuhkan untuk mengisi bangsa baru ini? Dalam situasi ini ya giving and taking itu tadi. Biarkan dia dalam satu proses.
Tapi dalam politik, itu selalu dicurigai sebagai jangan-jangan lepas (merdeka), jangan-jangan separatis. Tapi kian terkekang kan orang makin ingin lepas, contoh Aceh dan Papua. Kalau saya bicara soal infrastruktur itu artinya menjadikan bangsa ini lebih based solid, sosio-cultural ground, sehingga harus terbuka dan ada konsensus-konsensus di bidang kultur. Yang bergerak secara ekstensif itu harusnya kultur.
Relasi politik bisa dibangun juga?
Bisa, tapi harus dengan energi lebih, dan apakah anggaran negara itu cukup. Dulu itu atas dasar semangat dan semangat itu harus diperbarui dari waktu ke waktu. Bangsa itu kalau dibangun atas keinginan bersatu, itu sebenarnya konsensus dan referendum dari hari ke hari. Di Indonesia tidak ada konsensus. Konsensus yang ada di negeri ini hanya sekadar upacara-upacara saja.
Kita ini selalu “merdeka atau mati”, berunding saja tidak mau, toh pada akhirnya berunding juga tapi dalam suasana yang tidak bersahabat. Kita bisa mengejek Malaysia, merdeka kok tidak punya taman makam pahlawan. Tapi, evolusi ketatanegaraannya itu lebih stabil, dan hubungan antara tiga suku besar sedikit banyak terkontrol. Mereka tidak punya pahlawan, tapi mereka kedatangan pahlawan dari kita (TKI). Jadi kita terhinakan juga.
Bangsa kita akan seperti ini kalau paradigmanya tidak berubah?
Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi misalnya, harus dimulai dari famili, democracy on the heart of the family. Tapi kita mencoba untuk menerapkan democracy on the heart of the nation, sementara rumah tangga bangsa ini berantakan semua. Apa yang saya lakukan, adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tapi negaraku itu keluargaku. Katakanlah negara ini runyam dan di mana-mana berkelahi. Saya tidak punya kuasa untuk menyelesaikan masalah itu.
Tapi, apakah saya tidak bisa mengendalikan lingkungan-lingkungan di mana saya memiliki wibawa. Saya tidak bisa mengontrol negara ini, lha gubernur saja bukan, wali kota juga bukan, rektor saja kalah dalam pilihan. Tetapi kalau yang mendengarkan saya, mencoba mempraktikkan dalam kehidupan sehari-harinya, dan secara estafet disampaikan kepada teman-teman yang lain.
Kalau Anda tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, harus ada perubahan di tataran di mana Anda memiliki otoritas. Misalnya peredaran narkoba, saya tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu itu. Yang bisa saya lakukan adalah menjaga agar orang-orang yang saya sayangi tidak terkena narkoba. Artinya harus dimulai dari yang kecil, masing-masing mengontrol lingkungannya masing-masing.