Berikut wawancara lengkap Soetandyo Wignyosoebroto:
Bagaimana Anda melihat kemauan dan kemampuan beradaptasi masyarakat Indonesia?
Saya lihat anak mudanya sangat adaptif. Tapi orangtuanya yang justru minta diseragamkan. Kalau menyimpang sedikit dianggap sesat, tidak nasionalis. Padahal nasionalisme sekarang sudah berganti pada humanisme, globalisme. Sekarang, kekuasaan nasional memang harus menghadapi pada situasi yang berbeda. Sekarang, semua pihak dan sektor menginginkan pembebasan. Transportasi memungkinkan Anda untuk tidak selalu berada di rumah. Komunikasi juga memungkinkan Anda untuk tidak tunduk pada ajaran tertentu, informasi kian lama kian murah.
Kalau demikian, tidak mudah bagi kita, terlebih menghadapi kondisi yang terus mengglobal, seberapa siapkah kita?
Pemimpinnya harus melihat kenyataan-kenyataan yang ada. Dia tidak lagi bisa menguasai warga sepenuhnya, kecuali atas dasar komitmen-komitmen, jadi harus ada giving and taking, tidak bisa hanya sepihak. Saya tidak tahu mampu atau tidak (masuk ke dunia global). Tapi sekarang itu, kemampuan mengorganisasi itu, manageable atau tidaknya organisasi dan kehidupan berbangsa tergantung pada kemampuan pemerintah pusat dan skala yang ingin dikendalikan.
Mungkin “kesalahan” Indonesia itu, wilayahnya terlalu besar. Sejak awal semua dikontrol secara sentral dengan keyakinan kebangsaan yang kukuh. Bandingkan dengan Singapura yang begitu kecil, tapi manageable. Negara-negara besar selalu di-manage secara federasi, India besar secara federasi.
Mungkin juga kebangsaan yang ditumbuhkan lebih dulu dan penyadaran terhadap kebangsaan. Saya berpikir, bangsa itu ada dua jenis, bangsa tua dan bangsa baru. Bangsa tua itu bangsa-bangsa yang sudah ada secara sejarah tapi tidak ada secara kesadaran bahwa mereka sebangsa. Seperti Perancis, berabad-abad satu bangsa dengan bahasa yang sama, tradisinya sama, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka berbangsa yang sama dan membangun negara-bangsa. Ini baru kemudian dilakukan Perancis.
Jadi, bangsa tua adalah bangsa yang sudah ada secara fenomena sejarah, tapi kemudian sebagai fenomena politik. Belanda juga seperti itu. Mereka tunduk pada banyak raja, baru membangun yang namanya kerajaan Belanda abad ke-19, sebelumnya hanya kota-kota dagang yang salah satunya dikuasai oleh Spanyol. Kalau Indonesia merupakan bangsa baru. Nasionalisme itu muncul dulu baru kemudian berikrar membentuk itu. Jadi landasan kulturalnya goyah dan agak belum mantap, terlalu besar, terlalu ambisius.
Sekarang ini, apakah Indonesia telah terbangun kulturalnya?
Satu-satunya kultur yang menjadi ciri yang satu kan bahasa. Itu pun bahasa birokrat, karena yang membangun Belanda, untuk kepentingan birokrasi.