Pasalnya, revisi terhadap beleid tersebut secara tiba-tiba masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
Padahal sebelumnya, pada Selasa (2/4/2024) sore revisi UU MD3 masih berada di dalam daftar Prolegnas 2020-2024. Hal itu berdasarkan pemantauan di situs resmi DPR.
Namun, masih berdasarkan informasi di situs DPR, pada Selasa malam UU MD3 sudah tak ada dalam daftar Prolegnas 2020-2024, tapi prioritas.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar mengonfirmasi soal kepastian revisi UU MD3 masuk dalam Prolegnas Prioritas. Tepatnya di urutan ke-15.
"(Revisi UU MD3) Dalam Prolegnas Prioritas 2024 tercantum UU MD3 urutan nomor 15," kata Indra kepada Kompas.com, Rabu (3/4/2024).
Bersamaan dengan informasi itu, Indra juga mengirimkan surat keputusan (SK) berisikan daftar RUU Prolegnas yang bakal dibahas DPR.
Surat itu bernomor 15/DPR RI/I/2023-2024 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-undang Prioritas Tahun 2024.
Berdasarkan SK yang dilihat Kompas.com, surat itu ditandatangani oleh Ketua DPR Puan Maharani pada 3 Oktober 2023. Kemudian, revisi UU MD3 memang terlihat ada di urutan nomor 15 dalam SK tersebut.
Dalam surat itu dituliskan bahwa naskah akademik dan RUU disiapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Setidaknya terdapat 47 RUU yang masuk daftar Prolegnas dalam SK itu. Ada yang merupakan usulan DPR, ada pula yang merupakan usulan Pemerintah dan DPD RI.
Sebagaimana diketahui, wacana revisi UU MD3 muncul setelah Pemilu 2024 berlangsung 14 Februari 2024.
Sebab, berdasarkan penghitungan suara sah Komisi Pemilihan Umum (KPU), PDI Perjuangan (PDI-P) dinyatakan menjadi pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 disusul oleh Partai Golkar dan Partai Gerindra di urutan kedua dan ketiga.
Padahal, PDI-P sendiri sudah menyatakan siap menjadi oposisi di pemerintahan ke depan buntut konflik politiknya dengan Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Sementara itu, berdasarkan UU MD3 yang saat ini berlaku, kursi Ketua DPR RI menjadi hak bagi parpol pemenang pileg.
Artinya, jika tidak ada revisi terkait aturan tersebut, jabatan itu bakal diduduki kembali oleh figur dari PDI-P.
Namun, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, semua fraksi parpol DPR RI telah sepakat tidak melakukan revisi UU MD3 sampai periode DPR RI 2019-2024 berakhir.
“Karena setahu kami, itu memang sudah beberapa waktu lalu direncanakan dalam rangka mungkin untuk penyesuaian jumlah ataupun beberapa pasal yang dianggap perlu, tetapi bukan untuk pergantian komposisi pimpinan," tutur Dasco di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/4/2024).
PDI-P Ingatkan soal potensi kegaduhan
Menanggapi dinamika terbaru soal revisi UU MD3, anggota DPR Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, kegaduhan bakal terjadi jika revisi UU MD3 dipakai untuk mengubah ketentuan Pasal pemilihan Ketua DPR periode mendatang.
Adapun aturan pemilihan Ketua DPR, sebagaimana UU MD3 yang ada saat ini, ditetapkan berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
"Kalau revisi dilakukan kembali terhadap pasal tersebut, akan terjadi kegaduhan," kata Hendrawan kepada Kompas.com, Rabu (3/4/2024).
Hendrawan lantas menceritakan tentang perubahan UU MD3 usai pemilihan presiden (Pilpres) 2014.
Saat itu, menurut dia, ada dinamika politik di mana pihak calon presiden Prabowo Subianto dari Koalisi Merah Putih (KMP) ingin merebut kursi Ketua DPR
"UU MD3 yang sekarang berlaku (UU 13 Tahun 2019) merupakan revisi ketiga terhadap UU MD3 nomor 17 Tahun 2014. Revisi tersebut dilakukan untuk mengakomodasi dinamika politik pasca-pemilu 2014," kata Hendrawan.
"Saat itu parlemen terbelah antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KMP yang jagoannya kalah dalam Pilpres, ingin menguasai parlemen, sehingga mengubah aturan main yang berlaku dalam UU MD3," ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Hendrawan mengatakan, revisi UU sebaiknya dilakukan terhadap UU lainnya.
Misalnya, revisi undang-undang untuk menguatkan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang merupakan salah satu alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR.
"Keanggotaannya yang selama ini hanya sembilan anggota (satu fraksi diwakili satu anggota), bisa ditambah. Kewenangannya juga bisa diperjelas, sehingga fungsinya dapat dioptimalkan," katanya.
"Terus, jumlah-jumlah pimpinan. Misal pimpinan MPR dengan jumlah wakil ketua yang merupakan representasi dari masing-masing fraksi dan kelompok anggota, sehingga yang sekarang berjumlah 10 orang, bisa lebih dirasionalkan, misal menjadi lima orang saja," ujar Hendrawan lagi.
Gerindra belum bersikap
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan ia mengaku belum bisa memberikan pernyataan soal masuknya revisi UU MD3 ke prolegnas prioritas.
"Belum, belum (bersikap), kita lihat nanti," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (4/4/2024).
Meski demikian, ia memberi pandangan bahwa penentuan kursi Ketua DPR juga dilakukan dengan musyawarah.
Menurut dia, partai politik (parpol) di parlemen juga menghargai bahwa kursi Ketua DPR biasanya akan dijabat oleh partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pileg.
"Terlepas aturan dari MD3, tradisinya kan kita mengedepankan musyawarah. Musyawarah rapat konsultasi pengganti Bamus (badan musyawarah) yang pertama ketika setelah pelantikan itu kan sebenarnya tidak secara spesifik diatur di dalam MD3," kata Habiburokhman.
"Itu bentuk kedewasaan, memang biasanya biasanya ya saling menghargai bahwa yang memperoleh suara terbanyak itu ketua. Biasanya seperti itu," ujarnya lagi.
Meski begitu, Habiburokhman belum bisa memprediksi apakah akan ada perubahan-perubahan dalam ketentuan penentuan kursi Ketua DPR di UU MD3 ke depan.
Namun, dia mengingatkan jika revisi UU MD3 dibahas, tentu banyak muatan materi lainnya. Misalnya, soal ketentuan masa sidang dan reses anggota DPR.
"Kan banyak hal yang mau dibahas di MD3. Di antaranya ketentuan terkait masa sidang dan masa reses pengaturan yang strict kayak gimana. Apakah di masa reses kita tidak boleh melakukan aktivitas. Itu akan ada usulan juga bukan soal susunan AKD (Alat Kelengkapan Dewan)," kata Wakil Ketua Komisi III DPR ini.
Golkar tegaskan tak dorong revisi
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Firman Soebagyo mengklaim, pihaknya tak mendorong ketentuan pergantian ketua DPR RI direvisi.
“Bahwa dengan adanya (RUU) MD3 itu tidak ada indikasi merevisi UU MD3 ini karena masalah pemilihan atau penetapan ketua DPR. Itu enggak ada,” ujar Firman dihubungi awak media, Rabu.
Ia pun menekankan, Golkar tidak mengajukan revisi UU MD3 itu masuk ke dalam Prolegnas Prioritas.
Menurutnya, wacana revisi UU MD3 memang sudah muncul di dalam prolegnas bersama sejumlah RUU yang lain, jauh sebelum Pemilu 2024 dilaksanakan.
"Itu semua yang di Prolegnas itu kan rancangan, daftar yang akan dibahas waktu-waktu (ke depan) itu akan muncul,” ucap dia.
Terakhir, ia menyebutkan bahwa Golkar masih mengikuti aturan ketua DPR RI sesuai dengan UU MD3 yang saat ini berlaku. Firman menuturkan, proses untuk mengajukan usulan perubahan ketentuan kursi ketua DPR RI cukup panjang.
Tidak bisa dilakukan secara cepat karena berbagai pertimbangan. “Selama undang-undang belum diubah ya suara terbanyak (di pileg) itu yang akan jadi ketua DPR. Itu pun kalau ada yang mengajukan (revisi) prosesnya panjang juga dan harus (dibahas) bersama pemerintah, bersama lagi menetapkan,” paparnya.
"Lihat urgensinya dan lain sebagainya, pertimbangan-pertimbangan politis lainnya. Enggak semudah itu,” imbuh dia.
Demokrat sebut revisi belum tentu terjadi
Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Herman Khaeron mengatakan, revisi UU MD3 belum tentu terjadi meskipun masuk dalam daftar Prolegnas prioritas.
Ia menyebutkan, sampai saat ini belum ada fraksi parpol DPR RI yang bergerak untuk mendorong revisi beleid tersebut.
“Belum ada, belum ada fraksi-fraksi yang menyatakan secara resmi untuk merevisi undang-undang itu,” ujar Herman pada Kompas.com, Jumat (5/4/2024).
Terlebih, pihaknya merasa tak punya kepentingan untuk merevisi UU MD3 yang terkait dengan ketentuan kursi pimpinan DPR RI.
"Bagi Demokrat kan belum ada kepentingan, jadi kalau belum ada kepentingan kami wait and see saja,” ucap dia.
Di sisi lain, ia mewajarkan adanya isu soal dugaan revisi UU MD3 bakal dilakukan untuk mencari cara baru menentukan kursi pimpinan DPR RI.
Sebab, kenyataannya, UU MD3 pernah direvisi beberapa kali untuk mencari siapa saja figur maupun parpol yang berhak mendapatkan kursi pimpinan itu.
“Karena ada historical tahun 2009 itu kan otomatis partai pemenang pemilu menjadi pimpinan DPR, nah tahun 2014 kan diubah jadi pemilihan langsung di DPR, waktu itu kan paket. (Tahun) 2019 kembali ke suara terbanyak (pemilu). Selalu ada perubahan-perubahan, nah 2024 seperti apa? belum ada pergerakan sampai sekarang,” papar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/06/13180411/setelah-revisi-uu-md3-masuk-prolegnas-prioritas-pdi-p-ingatkan-potensi-gaduh