JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu deklarator Maklumat Juanda Beka Ulung Hapsara menduga, putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden, merupakan hasil tekanan pihak lain di luar mahkamah.
Sebagai lembaga negara independen yang lahir dari rahim reformasi, ia mengingatkan MK agar tetap menjaga marwah konstitusi.
"Sekaligus juga independensi setiap keputusan yang ada. Bukan 'tunduk' kepada tekanan massa atau kepentingan lain di luar konstitusi," kata Beka kepada Kompas.com, Minggu (22/10/2023).
Mantan Komisioner Komnas HAM itu meminta MK menjelaskan alasan mengambil putusan yang pada akhirnya menambah norma baru terkait batas usia capres-cawapres tersebut.
"Saya melihatnya ada kepentingan lain. Itu juga yang harus dijelaskan MK, meskipun sudah bisa kita baca dari pendapat setiap hakim konstitusi yang ramai diberitakan," imbuh dia.
Di sisi lain, penjelasan kepada publik diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan upaya memulihkan kepercayaan MK.
Bukan tanpa sebab, Beka mengingat ke depan masih akan ada banyak sidang yang perlu diselesaikan MK.
Terakhir, Beka enggan memaknai jika kritiknya tersebut lantaran putusan MK melebar ke arah isu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bakal menjadi calon wakil presiden.
Perlu diketahui, MK mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Senin. Putusan ini pun mulai berlaku pada Pemilu 14 Februari 2024.
"Sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya," kata Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah saat membaca putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin.
Mahkamah berpendapat, pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun berpotensi menghalangi anak-anak muda untuk menjadi pemimpin negara.
"Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang inteloreable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden," ujar Guntur.
Maklumat Juanda
Sebelumnya, diberitakan Kompas.id, hanya satu jam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan uji soal batas usia capres-cawapres, ratusan orang dari berbagai kalangan, yakni guru besar, agamawan, budayawan, pegiat literasi, pegiat antikorupsi, pemerhati hak asasi manusia, tokoh pendidikan, wartawan, seniman, dan lapisan masyarakat berkumpul di Malacca Toast, Jalan Juanda, Jakarta, Senin (16/10/2023) sore.
Mereka menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas putusan MK yang dinilai melanggengkan politik dinasti di Indonesia.
Dalam putusannya, MK menyatakan, seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti.
Atas putusan itu, ratusan tokoh membacakan maklumat keprihatinan serta menyikapi situasi politik dan demokrasi di Indonesia. Pembacaan maklumat dipimpin Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid yang diikuti Erry Riyana Hardjapamekas, Danang Widoyoko, Profesor Sulistyowati Irianto, Faisal Basri, Henny Supolo, Nia Sjarifudin, dan tokoh lainnya.
Maklumat itu ditandatangani oleh 215 tokoh dari berbagai kalangan profesi dan unsur masyarakat. Mereka bersama-sama menyerukan reformasi dan pemulihan demokrasi.
Mereka menilai prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Kedaulatan rakyat seperti disingkirkan, ruang publik dipersempit, lembaga antikorupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif ditebalkan.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat juga berhenti di ranah non-yudisial dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek. Politik dinasti juga terasa kental ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri.
”Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak kepala negara atau anak presiden yang berkuasa,” ujar Usman.
Selain itu, mereka menganggap presiden terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024. Hal itu ditandai dengan menggandeng kubu politik untuk menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga.
Mereka mendesak agar pemimpin bangsa, terutama presiden, memberikan teladan kepada masyarakatnya. Mereka juga meminta agar politik di Indonesia diperuntukkan untuk kedaulatan rakyat.
”Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Presiden Jokowi, agar memberi teladan dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga,” ucap Usman.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/22/15490521/deklarator-juanda-duga-ada-tekanan-yang-diterima-mk-atas-putusan-soal-batas