Statistik yang dihasilkan oleh pelbagai survei memiliki daya pukau bagi orang yang terbiasa dengan fakta. Namun, angka statistik merupakan tumpukan sampah omong kosong jika tidak didasarkan pada kejujuran.
Di dalam pendahuluannya, Huff menjelaskan, buku ini merupakan pedoman menggunakan statistik untuk membohongi orang lain.
Angka, data, grafik, dan persentase yang disampaikan dalam data statistik bukanlah perwujudan dari realitas lapangan.
Ringkasnya, buku ini membongkar bagaimana statistik seringkali dipakai untuk mengelabui. Buku lama yang menarik untuk dibaca di tengah sodoran angka-angka survei politik.
Survei merupakan bisnis yang menjanjikan. Dunia modern menuntut kepastian data, angka, dan sesuatu yang bisa diukur. Penelitian yang bersifat kuantitatif mampu memberikan kepastian dengan cara yang cepat.
Kata Yuval Noah Harari, “di dunia yang dibanjiri informasi tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan”. Kejelasan dalam bahasa Harari itu mampu disuguhkan salah satunya dengan metode survei.
Selain kepentingan politik pemenangan, survei sering juga dijadikan patokan untuk pengambil kebijakan. Angka-angka statistik dimaknai mengkonstruksi persoalan dan diejawantahkan dengan metode penyelesaian masalahnya.
Konsep sederhananya, angka statistik yang dimunculkan secara masif akan melahirkan program. Program akan melahirkan proyek dan proyek akan selalu memproduksi para makelar pemburu rente.
Pemburu rente dalam kontestasi politik semakin digemari oleh para kontestan. Padahal tidak sedikit dari mereka yang mengerti bahwa lembaga-lembaga penjaja angka-angka statistik itu kerap kali membual.
Toh, kenyataannya para politisi yang berkontestasi itupun senang untuk dimanipulasi. Politisi menikmati bualan-bualan dan sanjungan, apalagi dikuatkan dengan angka-angka statistik yang disulap demi pemenuhan hasrat berkuasa.
Mungkin ini yang disebut fetisnya para politisi, senang berbohong dan menikmati pembohongan.
Hasrat berkuasa merupakan insting dasar manusia. Menurut Nietzsche, hasrat yang paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk berkuasa (the will to power).
Hasrat berkuasa itu bermakna netral, bisa baik ataupun buruk tergantung kemana dan bagaimana hasrat berkuasa itu disalurkan serta diperoleh.
Politik merupakan kanalisasi dari hasrat berkuasa. Politik merupakan cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Banyaknya orang yang ingin berkuasa membuat memuncaknya gairah sekelompok orang untuk menyulap dirinya menjadi lembaga survei ataupun konsultan politik. Ada peluang mengeruk keuntungan dari hasrat kekuasaan orang lain.
Kemampuan retoris dengan balutan teoritis berhasil menyihir para politisi untuk menggunakan jasa mereka.
Semakin tinggi jabatan politis yang diincar, maka akan semakin tinggi juga biaya konsultan dan lembaga survei yang akan dikeluarkan.
Dengan iming-iming akademis, para penjaja angka-angka statistik dan para konsultan politik semakin digemari. Jika teori dan angkanya tidak terbukti di lapangan, itu soal lain. Tinggal ganti bualan dan teori.
Berbohong secara akademis
Kebohongan dalam politik harus dilakukan dengan cara yang benar. Itu landasan moral yang tidak etisnya.
Politik tidak pernah absen dari citra-citra palsu, kata-kata manipulatif, dan absurditas moral. Ambivalensi politik berada pada pemaknaan dibenci tetapi diharapkan.
Dibenci karena perilaku kotor yang dipraktikkan di dalamnya dan diharapkan karena bisa mendatangkan kesejahteraan secara cepat.
Rayuan kesejahteraan yang ditawarkan investor-investor politik menyebabkan orang menggunakan seluruh sumber daya untuk meraih kekuasaan.
Politik acapkali diasosiasikan dengan makna peyoratif. Maurice Klain pada 1955 menulis artikel dengan judul “Politic Still the Dirty Word”.
Pada tahun itu, politik dimaknai sebagai kata-kata yang dimaknai kumuh. Kumuh karena laku lampah kotor para politisi ketika memainkan peran politiknya.
Kata Klain, jika para politisi itu berada di sekeliling kita, lebih baik tutup hidung. Sebegitu pesingnya.
Karakteristik seperti yang dijelaskan Klain sepertinya belum lagi berubah karena politisi akan selalu memilik hasrat untuk berkuasa.
Dorongan berkuasa bertemu dengan kepentingan para intelektual lacur yang menginginkan tetesan kesejahteraan dari politisi. Sehingga mereka ramai-ramai menceburkan diri pada kubangan politik.
Semua ini merupakan akibat dari kerja-kerja intelektual dan akademik tidak terlalu diapresiasi. Akhirnya, hasil kerja akademik diobral dengan harga murah di ruang kontestasi politik.
Apakah politik harus jauh dari intelektualitas? Tidak juga. Politik harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan, tetapi keilmuan yang jujur.
Politisi harus berteman dengan para intelektual. Intelektual tidak boleh juga antipati dengan politik. Syaratnya harus tidak memihak pada pemuasan pemesan kepentingan saja. Adil sejak dalam pikiran, kata Pramoedya Ananta Toer.
Terceburnya para intelektual dalam kepentingan politik melalui survei dan iming-iming konsultan politik merupakan jebakan. Jebakan untuk politisi pemakai jasa dan juga kaum intelektual yang menjual jasa.
Para politisi sudah terbiasa berbohong dan para intelektual sudah terbiasa untuk berbohong. Retorikanya melampai (berliuk-liuk) sehingga tidak bisa dibedakan apakah itu bualan atau teori ilmu pengetahuan. Berbohong dengan elegan, berbohong secara akademik.
Konstruksi kebenaran akademik digunakan untuk memanipulasi banyak orang. Tujuannya, membangun citra pemakai jasa untuk mewujudkan hasrat berkuasanya.
Angka-angka survei dan bualan para konsultan yang berkamuflase menjadi pengamat berseliweran untuk membentuk opini publik.
Opini publik dikendalikan oleh para intelektual yang mampu mengotak-atik teori-teori akademik.
Sihir akademik yang memukau menyebabkan masyarakat menjadi seolah-olah rasional dalam mengambil pilihan politik. Rasionalitas masyarakat yang dikonstruksi oleh media merupakan rasionalitas palsu.
Rasionalisasi harus didasarkan pada refleksi mendalam. Politik memang kubangan yang sulit bersih, tetapi dari kubangan itu hajat hidup orang banyak dipertaruhkan. Termasuk hajat hidup para intelektual.
Berbohong secara akademis pun dihalalkan untuk perwujudan kesejahteraan. Bukankah begitu?
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/22/07383701/kebohongan-dalam-kebenaran