Hal ini menanggapi tidak sinkronnya angka yang tertera dalam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dengan indeks di aplikasi lain yang sejenis.
ISPU merupakan aplikasi pengukur kualitas udara yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, angka kualitas udara di aplikasi tersebut kerap tidak sama dengan aplikasi sejenis lain milik pihak swasta, termasuk aplikasi Nafas Indonesia.
"Saya dengar ada ketidaksesuaian antar kementerian dan swasta tentang polusi udara. Sebetulnya, mesti duduk bersama dan mesti dipilih kita akan pakai yang mana, kemudian harus dibuat sederhana," kata Iwan dalam diskusi secara daring di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Iwan mengatakan, pemerintah bisa belajar dari masa pandemi Covid-19.
Saat Covid-19 merajalela, pemerintah mengkategorikan seluruh wilayah dengan empat level, tergantung dari jumlah kasus Covid-19 di wilayah tersebut. Dengan begitu, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan saat berada di wilayah rawan.
"Masyarakat semua tahu kalau level satu mesti apa, level dua, tiga, empat mesti apa. Dan itu diumumkan setiap minggu dan setiap dua minggu, saat itu dengan putusan Mendagri," ujarnya.
"Jelas itu. Jadi jangan boleh pakai, boleh enggak. (Jadinya) seperti anjuran. Ya langsung saja ditegaskan, ini mesti pakai masker. Masker yang mana (kriterianya), dijelaskan. Itu yang harus dilakukan sekarang," katanya.
Sebelumnya diberitakan, polusi udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membentuk Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara sebagai salah satu langkah penanganan polusi udara yang makin memburuk ini.
Adapun pembentukan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/1625/2023 yang diteken Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada 14 Agustus 2023.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/01/06120051/pakar-sarankan-pemerintah-duduk-bareng-swasta-samakan-indeks-pengukur