SLEMAN, KOMPAS.com - Sejumlah siswa tampak bersiap-siap untuk memiloti pesawat latih jenis Grob G 120TP-A yang terparkir Skadron Pendidikan (Skadik) 101 Lanud Adisutjipto, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mereka berkoordinasi dengan co-pilot, mengecek baling-baling pesawat, hingga memasang sarung tangan.
Mereka juga memastikan sistem avionik aman, sebelum memiloti pesawat latih produksi Grob Aircraf dari Jerman itu.
Setelah semuanya aman, para siswa dari Sekolah Penerbang TNI Angkatan Udara itu melaksanakan latihan terbang.
Diketahui, Skadik 101 merupakan skadron dasar bagi calon penerbang TNI AU.
Para siswa Sekbang TNI AU, yang berasal dari Akademi Angkatan Udara (AAU) atau Sekolah Penerbang Prajurit Sukarela Dinas Pendek (PSDP) TNI, menjalani pendidikan terbang dasar untuk kemudian penjurusan.
Kompas.com berkesempatan mengujungi Skadik 101 di Lanud Adisutjipto, Sleman, dalam agenda press tour TNI AU, pada Kamis (24/8/2023).
Latih dasar
Calon penerbang setidaknya harus menjalani penerbangan 25 sortie atau sekitar 89 jam terbang menggunakan pesawat latih Grob di Skadik 101.
Fase latih dasar itu terdiri dari berbagai latihan.
"(Mulai dari) pengenalan darat, manuver dasar, terbang pattern (formasi), terbang solo hingga exercise aerobatik," ujar Komandan flight A Skadik 101 Lanud Adisutjipto Mayor Pnb Syahrul Jaya saat ditemui di lokasi.
Apabila tidak lulus terbang formasi, siswa dinyatakan gagal dan tidak boleh melanjutkan pendidikan di Sekbang lagi.
Menu latihan selanjutnya terbang rendah, navigasi rendah, dan dilanjutkan dengan exercise navigasi.
Syahrul mengatakan, latih dasar di Skadik 101 itu memakan waktu 6-9 bulan.
Setelah lulus, siswa akan mendapatkan rekomendasi dari Skadik 101 untuk menjalani pendidikan lanjutan. Rekomendasi itu terbagi dua, yakni fixed wing atau rotary wing.
Para siswa yang mendapatkan rekomendasi fixed wing akan melanjutkan pendidikan di Skadik 102, di mana mereka akan mengoperasikan pesawat latih KT-1 Wong Bee.
Setelah itu, para penerbang fixed wing akan mengoperasikan pesawat tempur atau pesawat angkut.
Sementara rekomendasi rotary wing adalah mereka yang akan mengoperasikan helikopter TNI AU.
"Yang tidak lulus persentasenya, dalam satu fase, saat ini kurang dari 5 persen," kata Syahrul.
"Apabila tidak lulus dalam sebuah fase, untuk lulusan AAU akan kami kembalikan ke AAU. Kemudian dari PSDP TNI ada beberapa apabila tidak lulus, akan dialihkan ke bintara TNI AU, ada juga kembali ke sipil," ujar dia.
Kebutuhan penerbang
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsekal Pertama R Agung Sasongkojati mengatakan, setiap tahun ada dua penerbang atau pilot yang masuk di setiap skadron TNI AU.
Namun, menurut Agung, jumlah itu masih kurang ideal.
"TNI AU ada 16 skadron untuk pesawat berawak. Artinya kami butuh sekitar lebih dari 30 penerbang per tahun," kata Agung.
"Namun, kami tentunya tidak bisa hanya 30 penerbang, kenyataannya pasti ada berkurang karena hal-hal lain," ujar Kadispenau.
Idealnya, lanjut Agung, jumlah penerbang yang masuk setiap tahun adalah satu setengah kali dari jumlah skadron di TNI AU.
"Harusnya minimal 40-45 (penerbang)," ujar penerbang tempur pesawat F-16 itu.
TNI AU, kata Agung, saat ini sedang menggodok program untuk meningkatkan latihan bagi calon penerbang.
Terlebih, Indonesia bakal kedatangan pesawat-pesawat tempur baru seperti Rafale atau Mirage 2000-5.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/25/15515301/cerita-dari-skadron-pendidikan-101-tempat-awal-terbentuknya-penerbang-tni-au